Manda yang
sedang meniru gaya juara satu kelasnya disikut oleh teman sebangkunya.
“Sst.. Mand,”
Gadis itu masih
meletakkan kepalanya di atas meja ketika Anya, teman sebangkunya, kembali
berbisik.
“Ada yang nyari
itu.. langganan lo.”
Manda
mengangkat wajahnya hanya untuk memberikan tatapan mematikan pada teman baiknya
itu. “Langganan lo bilang? Kaya gue buka warung aja,” ucap Manda sebelum
memberikan tatapan yang sama pada satu orang yang sama menyebalkannya dengan
Anya. Adrian Russel sangat menyebalkan sehingga Manda tidak ingin berurusan
dengannya tapi juga tidak ingin pria itu mengalihkan perhatiannya pada
perempuan selain dirinya. Complicated? Begitulah adanya.
Manda berjalan
menuju jendela kelasnya padahal Drian berdiri di ambang pintu. Mau tidak mau
Drian tentu mendekati jendela pada bagian luar. Sekarang keduanya sudah berhadap-hadapan
dengan sebuah dinding sebagai penghalang. “Kamu gangguin aku lagi minggu depan
aja, Yan.”
“Loh kenapa?
Aku belum ngomong sepatah kata pun tapi kamu udah langsung ngusir. Ngusirnya ga
tanggung-tanggung sampe seminggu pula,” kata Drian yang biasanya hanya diusir
dari kelas Zaki tapi tiba-tiba diusir sampai tujuh kali dua puluh empat jam ke
depan.
Manda menghela
napas. Ia sedang dalam masa haid dan hal itu membuatnya kesal pada mantan
pacarnya ini. Pokoknya Manda yang saat ini halangan dan berhadapan dengan Drian
jadi teringat kembali bagaimana teganya Drian pada Kakaknya sendiri hari itu.
Manda menolak menggunakan kata kasar atau kejam karena Drian tidak melakukan
hal yang menyebabkannya pantas mendapat kata tersebut. Dia hanya akan bertahan
di kata ‘tega’. Kamu pasti tau maksudnya bukan?
“Ya, udah,
nih.” Drian kembali bersuara sambil mengulurkan kotak bekal titipan Rhea pada
Manda. Ia juga teringat dengan pesan terakhir Rhea padanya. Bahwa ia harus
langsung putar balik setelah Manda menerima bekalnya.
“Ini apa?”
“Ga tau. Rhea
yang bikin.”
“Kok dikasih ke
aku?”
“Masa dikasih
ke ketua OSIS?” ucap Drian sambil berbalik dan meninggalkan mantan pacarnya
begitu saja. Yang dia kira Manda tidak mendengar apa pun tapi cowok itu justru
salah besar.
Celetukan Drian
tentang ketua OSIS dan kiriman makanan dari kakaknya membuat mood Manda
tiba-tiba membaik. Mumpung jam pelajaran kosong, gadis itu langsung kembali ke
tempat duduknya dan membuka bekal buatan Kak Rhea. Jangan pikirkan apa yang
teman-temannya pikirkan tentang hubungan Manda dan Drian. Semua orang sudah
pada maklum. Putus, nyambung hubungan sepasang kekasih di sekolah, satu
angkatan pasti tau.
“Idih.. dikasih
surat,” goda Anya dan merampas selembar kertas tersebut dari teman sebangkunya.
“Selamat makan, Manda. Semoga kamu ga ikut-ikutan marah sama Kakak?,” ucap Anya
dengan nada tanya di kata terakhir yang ia ucapkan. “Ini surat bukan dari
Adrian,” ucap Anya kemudian mengembalikan kertas tersebut pada pemiliknya. Anya
bersyukur karena tidak mendapat cubitan mautnya Manda ketika ia mengembalikan
surat tersebut.
Manda membaca
tiap kata yang Kak Rhea tuliskan kemudian melipat kertas tersebut dan
memasukkannya ke dalam kantong seragam. Setelahnya ia tidak lagi bicara pada
Anya. Sepanjang hari ia juga tidak melihat Drian berkeliaran. Bukan berarti
Drian selalu berkeliaran di sekitarnya. Hanya saja teman baik pria itu adalah
teman sekelasnya Manda sehingga Drian cukup sering datang ke kelas. Kalau bukan
untuk Manda ya untuk Zaki.
~o~
Rhea memeluk
Ibuk dengan erat. Hari ini adalah hari dimana ia bisa bertemu Ibuk dengan kedok
belanja. Meski tidak bisa memeluk beliau selama yang ia inginkan, Rhea tetap
bersyukur bisa memeluk Ibuk walau sebentar saja. Tapi sebagai gantinya, Rhea
akan menemani Ibuk keliling pasar. Mereka selalu punya waktu yang menyenangkan
saat berdua seperti ini.
Rhea sedang
mendengarkan rencana Ibuk untuk makan malam ketika matanya menangkap sebuah
kemeja. Tidak ada yang spesial tentang kemeja itu tapi Rhea tau satu hal.
Pakaian itu akan terlihat spesial jika Bapak yang memakainya. Makanya sebelum
Ibu naik angkot untuk pulang, Rhea menarik beliau ke dalam toko pakaian
tersebut.
“Untuk suami?”
goda Ibuk pada Rhea atau yang sekarang berpura-pura menjadi Alesha.
“Ngga, Buk.
Buat Bapak. Tapi Ibuk jangan bilang ini dari aku ya.. Bapak ga suka sama aku.”
“Eh ga usah.
Bapak bisa beli sendiri kok, kamu udah sering banget beli-beliin Ibuk. Masa
Bapak juga dibeliin. Suami kamu ga nanya kemana uang bulanan kalian?”
“Engga,” ucap
Rhea pendek. Kemudian senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Suami aku ga
banyak protes asalkan lauk di rumah ga mondar mandir di antara tahu ama tempe
juga ikan teri,” kikiknya. Rhea dalam posisi sangat sadar bahwa Adrian Russel
yang bersamanya saat ini bukan lah suaminya. Hanya saja komentar Drian yang
paling baru tersebutlah yang langsung teringat olehnya.
Ibuk membiarkan
Ale memilih baju. Ekspresi wajahnya tampak bahagia sekali padahal wanita muda
itu tidak memilihkan baju untuk Ayahnya juga bukan untuk suaminya. Namun
demikianlah ekspresi yang ia lihat.
Sekarang
keduanya sudah berdiri di depan angkot yang sedang ngetem. Menunggu penuh
sebelum berangkat dan Alesha seperti biasa belum akan beranjak jika dirinya
sudah pergi bersama angkot. Ale sudah menaruh belanjaan Dela di dalam angkot
namun dia tidak mengizinkan Dela untuk duduk di dalam angkot. Panas, begitu
katanya. Sekarang mereka sedang duduk sambil meminum es kelapa muda.
“Ibuk mau beli
apa nih? Aku beliin Bapak tapi ga ngasih Ibuk apa-apa.”
“Ibuk udah ga
butuh apa-apa,” ucap Dela dengan senyum tulusnya.
“Jangan
sungkan-sungkan sama aku, Buk.”
“Ibuk udah ga
bisa sungkan sama kamu Ale,” kekeh Dela. Keduanya tertawa kemudian menikmati
kebisingan dengan segarnya es kepala muda. Dela menoleh pada Alesha yang sedang
memperhatikan seorang wanita dan putrinya. Ale tersenyum melihat bagaimana
wanita itu kerepotan membawa belanjaan sementara putrinya yang baru bisa
berjalan terlihat sangat aktif.
“Ibuk boleh
tanya ga?”
“Tanya aja
langsung, Buk.. ga usah ijin-ijinan segala.” Kini Rhea kembali menatap pada
Ibuknya.
“Cucu Ibuk udah
umur berapa?”
Rhea tidak bisa
menjawab pertanyaan barusan. Cucu Ibuk, begitu ucap sang Ibu yang tidak pernah
bisa bertemu cucunya. Rhea juga terlalu paham bahwa Ibuk sedang menanyakan
putri Alesha yang bukan siapa-siapa baginya. Tapi pemilihan kata Ibuk membuat
seolah-olah beliau tau bahwa Rhea adalah Rhea-nya.
“Beberapa bulan
yang lalu waktu awal-awal kita kenal, pakaian kamu basah. Ibuk langsung tau
kalau kamu adalah Ibu muda yang masih menyusui anaknya.”
Rhea kembali
meneguk ludahnya kasar.
“Ib- Ibuk lihat
dada aku basah?”
“Ga terlalu
kelihatan. Cuma kalau bener-bener diperhatikan baru ketahuan. Kalau Ibuk memang
selalu perhatiin kamu. Soalnya kamu mirip banget sama Rhea. Semua tentang
kamu.”
…
Rhea masih
tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ia juga kembali
mengalihkan pandangan dari Ibuk. Saat dirinya merasa siap, Rhea menatap wanita
yang melahirkannya itu dengan tangis yang siap pecah kapan saja. “Buk, anakku.”
Rhea memejamkan
kedua matanya. Melihat wajah Ibuk dengan pengakuan yang akan ia ucapkan adalah
hal yang paling berat untuk dilakukan.
“Anakku sudah
ga ada, Buk,” ucapnya dengan nada yang lebih terdengar seperti bisikan. Hal
yang selama ini, setiap malamnya, Rhea pendam sendiri akhirnya keluar juga dan
tidak tanggung-tanggung, orang pertama yang mengetahui hal tersebut adalah
Ibuk. Seorang pun tidak perlu mengatakan betapa tidak becus dan tidak
bertanggungjawabnya Rhea pada putrinya sendiri. Karena dia bisa mengetahui hal
itu tanpa harus diberitahu.
Dan yang tidak
akan pernah bisa dimengerti oleh semua orang sekalipun oleh Ibu-Ibu yang pernah
kehilangan anak mereka adalah bagaimana Rhea tidak bisa melihat juga memeluk
jasad putrinya. Karena mungkin hal gila ini hanya terjadi pada hidup Rhea
seorang.
Matahari
semakin terik dan tidak ada tanda-tanda angkot yang mereka tunggui akan penuh
dalam waktu cepat. Sementara itu Rhea menumpahkan segala tangisnya di pelukan
sang Ibuk. Sedangkan Dela, wanita itu langsung meraih Ale dan membawa wanita
muda itu ke pelukannya selain untuk mencoba menenangkan Ale, hal tersebut juga ia
lakukan untuk dirinya sendiri.
Karena Dela
adalah seorang Ibu yang juga sudah kehilangan putrinya. Mungkin, mungkin akan
lebih baik jika polisi bisa menemukan mayat Rhea. Sehingga Dela punya tempat
yang bisa ia kunjungi ketika rindu mendera. Tempat bernama makam.
Terisak
sejadi-jadinya, Rhea menarik Ibuk semakin dekat padanya. Karena semakin lama
dia menghidu wangi wanita tersebut seharusnya Rhea merasa semakin tenang. Tapi
kenyataannya ia hanya menyakiti Ibuk. Makanya walaupun enggan, dia akhirnya
melerai pelukan dan menghapus jejak air mata di pipi beliau.
Dulu Rhea
pernah berpikir jika ia kehilangan Adrian, kehilangan Alesha dan kehilangan
semua cerita mereka. Semua itu setimpal karena ia mendapatkan Ibuknya kembali.
Tapi Rhea salah. Diam-diam wanita itu menginginkan semuanya. Ibuk, Bapak,
Drian, Alesha dan hidupnya yang lama.
“Ibuk jadi
ikut-ikutan nangis,” ucap Rhea yang sudah kembali pada mode cerianya. Rhea
masih punya beberapa hal untuk dikatakan pada Ibuk seperti permintaan maaf
karena pelukannya barusan hampir membuat Ibuk remuk, meminta Ibuk untuk tidak
perlu memikirkan dan jangan ikutan sedih karena Rhea tau Ibuk juga punya
masalahnya sendiri tapi angkot yang mereka tunggui sudah menekan klaksonnya
berkali-kali sehingga Ibuk harus cepat-cepat pulang.
~o~
“Kakak kenapa?”
Rhea mengangkat
wajahnya dan menemukan Manda di depan rumah. Melirik kiri-kanan, ia tidak
menemukan adanya motor Drian di rumah.
“Kamu datang ga
ngasih tau Drian?” tanya Rhea yang masih larut dalam pikirannya. Entahlah, Rhea
merasa dirinya belum siap untuk menjadi Kakaknya Adrian Russel dan berurusan
dengan Manda. Malah kalau bisa, ia ingin Manda pulang saja. Jika ia datang
besok, Rhea mungkin bisa memperlakukannya lebih baik dari ini.
Manda menggaruk
tengkuknya. Bingung harus menjawab apa. “Aku, ‘kan, udah putus sama dia,” ucap
Manda pada akhirnya.
“Jadi kamu ga
datang kemari karena pengen ketemu Drian?” tanya Rhea skeptis yang dijawab
terlalu cepat oleh Manda.
“Engga lah..
enak aja.”
“Dan ini adalah
bagian yang juga paling ga masuk akal di cerita ini,” gumam Rhea pada dirinya
sendiri. Entah Manda ini sedang berpura-pura untuk mendapatkan perhatiannya,
perhatian Kakak kandungnya Adrian Russel lebih tepatnya, atau justru dirinya
memang beginilah dirinya yang sebetulnya.
“Ayo masuk,
Mand. Ini ada martabak,” ucap Rhea yang sedang membuka pintu rumah. Dan wanita
itu tidak sadar bahwa dirinya juga adalah bagian yang sangat konyol dalam
cerita ini karena menawarkan martabak dari Ibuk untuk dimakan oleh Manda.
“Kakak habis
belanja?”
“Hm..”
“Besok-besok
ajak aku ya,” pinta Manda yang suaranya makin kecil karena mereka sudah masuk
ke dalam rumah.
“Katanya kamu
udah putus sama Drian.”
“Aku, ‘kan,
cuma mau nemenin Kakak belanja. Bukan nemenin adik Kakak.”
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar