If This Was a Book - Chapter 6

Sampul If This Was a Book

 

Chapter 6

June tidak akan merasa seperti sapi kecuali Wyne kumat penyakitnya. Atau justru seperti ikan. Di rumah ini, yang hanya ditinggali oleh mereka berdua, Wyne lah yang mengatur semuanya termasuk apa yang harus mereka makan. Ya, sebut saja Wyne Amelia adalah kepala keluarganya. Beberapa bulan lalu saat adiknya itu punya jerawat besar di dalam hidungnya. Yap, dalam hidung. Mereka berdua berakhir seperti ikan. June menyebutnya ikan karena yang masuk ke dalam perut mereka hanyalah air. Wyne beralasan bahwa jerawatnya muncul karena ia kurang minum air putih dan entah kenapa pula, yang berjerawat di dalam hidung adalah Wyne tapi June ikutan meminum segalon air.

Dan sekarang, ia dan adiknya tercinta duduk di meja makan dengan semangkuk salad. Salad yang mayoritas komposisinya itu adalah selada. Kali ini masalahnya adalah berat badan Wyne yang sudah berada pada batas toleransi adiknya itu. Kalau boleh berharap, June ingin adiknya seperti adik orang kebanyakan saja. Adik yang patuh dan hormat pada Abang, bukan yang suka mengatur Abangnya.

“Jun..” panggil Wyne setelah meletakkan ponselnya di atas meja makan.

“Lo sehari ga manggil gue, bisa ga, ya?”

“Lo tau Shakka dan empat cowok yang waktu pertama MOS baku hantam, ‘kan?” tanya Wyne pada sang Abang. Dan tidak adalah jawaban yang perlu ia suarakan, ia tidak bisa kalau tidak memanggil June dalam beberapa menit saja. Atau mulutnya akan terasa kering.

“Suka, lo?” Seringai mengejek sudah tercetak di wajah tampan Arjuna Madhava dan ia siap untuk menggoda adiknya mulai dari siang ini. Akhirnya Wyne menemukan seseorang yang bisa ia atur sesuka hati dan panggil lima belas menit sekali. June berjanji akan bersikap baik pada calon adik iparnya itu.

“Kenapa mereka jadi dekat, ya, akhir-akhir ini?”

“Mereka siapa? Ada yang nikung adek cantik gue? Mana orangnya? Sini biar gue labrak.”

“Jun.. maksud gue, Shakka dan empat cowok lainnya. Kenapa mereka jadi terlihat akrab?” tanya Wyne dengan kerutan di dahinya.

Dan ternyata kerutan di dahi adiknya siang itu membuat June harus duduk di kantin Bina Bangsa, di meja yang tidak jauh dari meja yang selalu ditempati oleh lima orang cowok tersebut. Tidak hanya menguping semua pembicaraan mereka, June bahkan harus bertanya-tanya pada beberapa siswa yang sekiranya mengetahui apa yang terjadi pada lima orang itu demi project Wyne. Wyne Amelia bukan lah siswi yang akan melakukan percobaan aneh-aneh pada tikus di laboratorium dan June lebih tidak percaya bahwa adiknya itu akan melakukan sesuatu pada Shakka dan teman-temannya. Adiknya hanya penasaran dan June harus menuntaskan rasa penasaran tersebut agar ia tidak diganggu oleh Wyne dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Semakin June tidak bisa menjawab maka semakin banyak pertanyaan lain yang bisa keluar dari mulut Wyne.

“Lo ngantin lagi?” tanya Mail pada sahabatnya yang buru-buru keluar kelas saat bel istirahat berbunyi.

“Masih aja nanya, lo.”

“Lo ngantin cuma beli aqua gelas lima ratus perak tau, Jun. Mending lo kasih tempat duduknya ke anak-anak lain yang mau makan nasi goreng dan sotonya Bu Ayu.” Maksud Mail adalah, mending June main dengannya seperti biasa. Sahabatnya ini memang sudah berubah semenjak adik superiornya sekolah di Bina Bangsa.

June menepuk bahu Mail kemudian tersenyum lemah dan selanjutnya menggeleng. Ia juga  mengatakan bahwa Mail tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi Abang yang ingin membahagiakan adiknya setiap saat.

“Munafik, lo,” seru Mail pada sahabatnya yang sudah meninggalkan ruangan kelas. “Abang yang ingin membahagiakan adiknya setiap saat,” ulang Mail dengan nada mencibir.

 

•°•°•

 

“Sebenernya apa yang mau lo kerjain, Wyn?” tanya June pada adik yang pada Mail ia sebut sebagai adik kesayangan. Setiap malam setelah keduanya selesai membuat PR masing-masing dan memastikan semua pintu dan jendela terkunci, Wyne akan menemuinya dengan buku tebal berwarna hijau itu dan meminta June untuk menyimpulkan hasil pengintaiannya hari ini di sekolah. Wyne Amelia jelas tidak jatuh hati pada Shakka Orlando Padmaja tapi dia punya satu buku khusus untuk menulis apapun tentang Shakka. Hal ini benar-benar membuatnya penasaran. June tidak pernah ingin mengetahui kenapa Newton menggunakan buah apel untuk menjelaskan konsep gravitasinya, kenapa tidak buah lengkeng atau buah rambutan sekeras ia ingin mengetahui apa yang Wyne kerjakan dengan project Shakka-nya.

“Jun.. lo ga bisa dapat semua jawaban dari pertanyaan lo di detik setelah lo selesai nanya ke gue. Apa lagi yang Shakka lakuin hari ini? Atau kebiasaan dia yang baru lo tau?”

“Shakka sering ngabisin waktu di labor komputer.”

“Ngapain dia disana?”

“Galih bilang disana ada AC-nya makanya dia suka disana.”

“Lo ngerasa ada yang aneh ga, sama dia?” tanya Wyne. AC? Katanya cowok ini pintar, ‘kan? Tanya Wyne membatin. Cowok pintar mana yang mendatangi labor computer karena AC?  

“Elo yang aneh disini Wyne.. lo nyelidikin orang yang sama sekali ga lo suka. Tujuannya apa coba?” June tidak mendapat sahutan sama sekali karena adiknya kembali menekuni buku saktinya itu. Yang bisa cowok itu lakukan hanyalah membuang napasnya kasar. Shakka Orlando Padmaja mungkin memang bukan orang yang ditaksir adiknya, Shakka lebih ke hm.. apa ya yang paling bisa menggambarkan Shakka? Semacam satwa aneh yang muncul dan tidak pernah ditemukan sebelumnya sedangkan Wyne adalah ilmuan gila yang ingin meneliti spesies tersebut. June mengangguk. Ya, itu yang paling tepat.

“Jadi, kenapa Shakka jadi akrab sama Galih, Evan, Ilham sama Arif?” tanya Wyne. Ini adalah pertanyaan yang selalu ia tanyakan pada June setiap malam tapi sampai sekarang tidak pernah terjawab.

“Gue ga tau, Wyn. Kita ngelewatin satu semester lebih masa pedekate mereka dan sayangnya lima orang itu bukan kalangan artis Korea yang hubungan dan rahasia terdalamnya sekalipun bisa digali sama Dispatch.”

“Apa yang lo suka banget dari Korea, Jun?” tanya Wyne kesal.

“Saat lo ga nge-skip sama sekali adegan ciumannya padahal lo lagi nonton sama Abang lo. Gue tau tipe-tipe drama kesukaan lo dan gue tau adik gue bukan yang polos banget.”

“Sialan lo,” umpat Wyne melihat seringai menyebalkan Abangnya.

“Huhui… rate drakor Wyne harus yang ada tagar 18+nya dong,” sorak June kencang tidak peduli ia dilempari dengan kacang bawang atau juga yang dikenal dengan nama kacang tojin.

“Dari pada elo? Minggu lalu lo ga ingat? Lo lupa nyolokin headset lo pas nonton bokep. Halah.. tau gue. Aib lo lebih dahsyat dari gue tau.”

“Gue, ‘kan udah bilang Mail yang kirim video itu. Gue ga tau apa yang gue tonton. Abang lo ini masih suci, Wyn.”

“Suci apaan lo?” cibir Wyne dan kembali membuka buku hijaunya. “Shakka punya pacar ga?” tanya nya lagi setelah membolak balik beberapa halaman. Sebelum ia benar-benar mengantuk, pertanyaan tentang Shakka juga belum akan berakhir. Begini caranya menutup hari. Dengan satu-satunya keluarga dan Shakka sebagai topik pembicaraan.

“Lo yakin anak BB? Kerjaan lo di sekolah ngapain aja, hah?”

Wyne mengerjapkan kedua matanya kemudian menatap June dengan tampang polosnya. Berlagak seperti siswi yang kerjaannya di sekolah hanya belajar, belajar dan belajar. Padahal yang ia lakukan adalah melengkapi catatan, meminjam PR orang saat ia tidak tau cara menyelesaikan PRnya dan juga membuka aplikasi membaca. Wyne punya lima aplikasi baca di ponselnya dan ia membaca mulai dari yang gratis sampai yang berbayar. Memangnya June pikir kenapa Wyne jarang muncul di kantin Bina Bangsa sekalipun semua orang berebutan untuk mendapatkan soto Bu Ayu yang terkenal enak itu? Tentu saja karena uang jajannya habis untuk membeli koin pada tiap-tiap aplikasi tersebut.

 June menghembuskan napasnya frustasi. “Shakka ga punya pacar, tapi ada yang ngekorin. Bella namanya. Belladiva Wicaksono.” Dan June tidak pernah sesial ini karena menyebut nama Bella. Ia jadi harus memata-matai satu orang lagi padahal dirinya sudah sangat sibuk dengan Shakka Orlando Padmaja.

 

•°•°•

 

“Menurut kamu, aku jadi artis atau penyanyi aja?”

“Kamu maunya jadi apa?”

“Kamu yang pilihkan.”

“Nanti aku cari tau.”

“Jadi aku cocok jadi penari atau artis?”

“Kapan aku bilang soal menari? Kamu menyanyi saja!”

“Oke, aku pasti jadi penyanyi.”

Shakka baru berniat untuk keluar dari mobilnya ketika ponselnya bergetar dengan tidak wajar. Beberapa saat setelah ia menemukan penyebab getaran pada benda canggih itu, Shakka Orlando Padmaja menangis. Tepatnya setelah ia mengklik link yang Mamanya kirimkan. Dulu sekali ia pernah memutuskan untuk jadi apa Keysha di masa depan karena kembarannya itu meminta demikian. Ingatan tersebut tiba-tiba mendatanginya setelah melihat kemana link tersebut membawanya. Disana, Shakka kembali melihat wajah cantik kembarannya. Wajah yang disana tidak lagi terlihat bekas aliran air mata di pipi dan juga hidungnya yang tidak lagi memerah karena menangis. Melihat hal tersebut, Shakka lah yang tidak bisa untuk tidak menangis.

Beberapa tahun belakangan, kembarannya terlalu sering menangis karena Papa. Papa memaksa Key untuk sama dengan Shakka. Apapun yang Shakka bisa, Papa ingin Key juga menguasainya. Beliau bahkan membuat Keysha belajar di rumah, mendatangkan Guru untuknya. Papa memang tidak pernah mengatakan ini tapi Shakka, dan Key sekalipun tau. Papa mereka malu pada Key yang agak lambat dalam belajar. Sebelum Key dipaksa belajar di rumah, Papa bahkan menyita semua hal yang Key sukai. Tidak ada ponsel, tidak ada gitar, piano yang Papa belikan sebagai hadiah ulang tahun ke sebelas juga dibuang begitu saja. Padahal Key yang paling menyayangi Papa.

“Key..” sapa Shakka lirih begitu panggilan suara itu tersambung.

“Kangen berat, ya, kamu sama aku,” goda Keysha namun dari sini, Shakka bisa mendengar bahwa Keysha pun menangis sama sepertinya.

“Jangan pernah hilang tanpa bisa dihubungi lagi, Key.. kamu boleh semubunyi dari semua orang tapi ga dari aku.”

“Mama bukannya udah bilang ke kamu kalau aku ga hilang? Kamu minta maaf sama Mama, ya, Kka, atau ini terakhir kalinya aku mau terima telfon dari kamu.”

Shakka menutupi wajahnya dengan tangan kirinya kemudian mengangguk. Isak tangis masih bisa terdengar di dalam mobil itu. Key sendiri yang sejak dulu mengatakan padanya bahwa anak cowok pun boleh menangis bukan? Hari ini Shakka menangis karena ia begitu bahagia bisa mendengar suara dan kabar dari kembarannya lagi. Iya, ia akan segera meminta maaf pada Mama tapi tentunya setelah mereka berdua bicara. Shakka harus tau semua tentang Keysha sejak kembarannya itu pergi tanpa kabar darinya.

Wede

Aku menulis cerita yang mungkin tidak akan kamu lupakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar