“Kamu becanda!”
tuduh Manda pada Drian yang bahkan belum menurunkan standar motornya juga belum
membuka helm yang mantan pacarnya itu gunakan.
Apa sih yang
Adrian Russel bayangkan ketika Manda memutuskan hubungan mereka hari itu? “Apa
gunanya kita putus kalau kamu masih ngelakuin hal-hal yang pacar aku biasanya
lakukan?” tuntut Manda pada Drian yang mengabaikannya dan langsung berjongkok
di dekat Abang-Abang yang sedang memperbaiki motor Manda.
“Pacarnya, ya?”
Tidak, pertanyaan ini bukan untuk Drian melainkan Manda.
“Mantan, Abang
ga dengar omongan saya barusan?” tanya Manda pada Abang-Abang yang membantunya
mengatasi kebosanan selama tiga per empat jam terakhir.
“Bisa selesai
malam ini, Bang?” tanya Drian pada pria yang wajahnya sudah hitam. Mungkin
karena wajahnya gatal dan beliau menggunakan tangannya yang kotor untuk
menggaruknya.
“Bisa. Kalian
mau malam mingguan, ‘kan? Jemput lagi aja motornya setelah selesai pacaran,”
kekeh Dandi. Pria yang mengetahui bahwa Manda, pemilik motor matic yang sedang
ia perbaiki ini, pasti sangat kesal karena dia terus menganggap pria tampan
yang sedang bicara dengannya ini adalah pacarnya. Dandi bicara cukup lama
dengan Manda untuk mengetahui cara membuat gadis tersebut kesal.
“Kami jemput
besok sore aja, Bang. Kasian Abang belum mandi seharian. Mana udah malam.”
“Iya kah? Boleh
nih?” Dandi juga berceletuk bagaimana punggungnya sudah sangat merindukan
ranjang. Pria itu sudah bekerja dari pagi sampai saat ini dengan motor-motor
yang serempak rusaknya. Seolah-olah hari ini adalah hari motor mogok sedunia.
Sedangkan Drian
yang posisinya saat ini sedang membelakangi Manda langsung menyatukan kedua
tangannya di depan dada. “Please..” ucapnya tanpa suara.
“Boleh aja,
Bang. Tapi saya ga akan bayar sepeserpun,” ancam Manda.
“Saya yang
bayar, Bang. Tenang aja.”
Drian tidak
menyangka bisa bertemu dengan orang yang akan sebaik ini padanya. Mengabulkan
permintaannya sehingga mau tidak mau Manda tidak punya pilihan selain ikut
dengannya. Saat ini Abang tersebut sudah mendorong motor Manda ke dalam
bengkel. Drian bangkit dari jongkoknya kemudian berdiri di depan Manda yang
menatapnya kesal.
“Engga, Manda.
Aku ga ngeliat ada gunanya kamu putus dari aku.”
“Mana Adrian
Russel, cowok paling menyenangkan yang aku kenal?” gerutu Manda mengikuti
mantan pacarnya menuju motor yang cukup sering jadi saksi kencan keduanya.
“Cowok sakit
mana yang bakal bersikap menyenangkan sama cewek yang bukan pacarnya?” cibir
Drian. Pria itu sudah kembali mendekati motornya karena Abang pemilik bengkel
benar-benar menutup pintu kayu bengkel satu per satu.
“Kata orang
yang mau aja jemputin cewek yang sama sekali bukan pacarnya,” dengus Manda.
Dan Drian tidak
bisa menyembunyikan senyumnya mulai dari Manda yang berjalan
menghentak-hentakkan kaki mendekatinya sampai akhirnya memeluk pinggang Drian
selama perjalanan ke bioskop
~o~
Drian adalah
remaja yang sedang dimabuk cinta. Semua orang bisa melihatnya. Yang tidak semua
orang ketahui adalah bagaimana Drian semakin dimabuk kepayang justru setelah
remaja itu putus dengan Manda. Hanya Rhea dan Zaki saja tentunya yang
mengetahui ini. Rhea yang menyaksikan cengengesan Drian selama berada di rumah
dan Zaki yang menjadi korban rengekan sahabatnya sendiri.
“Lo kenapa
senyum-senyum ngeliatin gue?” tanya Drian pada Rhea yang tepat seperti orang
yang sedang kasmaran. Sama seperti dirinya. Tapi seingat Drian pemuda kompleks
ataupun hansip kompleks tidak ada yang mendekati Rhea. Jadi apa yang membuat
Rhea cengengesan?
“Karena
ngeliatin kamu cengengesan.”
“Kok gue?”
“Karena aku
bersyukur bisa liat langsung gimana kamu menjalani hidup dengan bahagia,” ucap
Rhea tulus.
“Siapa bilang
gue ga bahagia?”
Rhea
mengendikkan bahunya. Tapi yang pasti, ia mengenal seseorang yang mengaku tidak
pernah benar-benar bahagia setelah ditinggalkan oleh wanita yang telah melahirkannya.
Tapi tentu saja
tidak selamanya Adrian Russel cengengesan. Sebanyak ia senyum-senyum sendiri
melihat layar ponselnya, lebih banyak lagi Drian yang pulang dan menghempaskan
semua pintu yang ia lalui. Jika di awal-awal waktu Rhea mulai tinggal disana
Drian sering pulang telat, sekarang anak ini bahkan pulang awal. Bagaimana
ceritanya anak SMA yang harusnya pulang pukul tiga sore sudah sampai di rumah
pukul sembilan pagi?
“Please, Ki..”
ucap Drian pada ponselnya. Rhea bukan berniat mengintip tapi rumah ini tidak
cukup kedap suara sehingga ia bisa mendengar Adrian Russel memohon pada
sahabatnya, Zaki, untuk membantunya mendekati Manda.
Melalui Adrian
Russel yang saat ini ia lihat dengan kedua matanya, Rhea rasa-rasanya bisa
melihat bagaimana dirinya dulu saat tergila-gila pada Drian.
“Juara tiga
kelas gue lagi sensitip,” sahut Zaki dari seberang sana. Drian tentu tidak
ingin repot-repot menahan ponselnya di telinga karena kedua tangannya sibuk
memainkan stik PS.
Rhea mencibir.
Selalu seperti ini. Rhea kebagian hempasan pintu dan Zaki kebagian tugas kotor
untuk membuat Drian bisa berdekatan dengan Manda. Jujur saja hal ini tidak
mengganggu Rhea sama sekali. Ia tidak merasa gelisah atau apapun. Seolah
siapapun yang Adrian Russel yang saat ini bersamanya sukai, hal itu tidak akan
merubah apapun. Antara Rhea yang percaya hal itu tidak akan merubah apapun atau
mungkin jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, Rhea sudah pasrah dengan
semua yang akan terjadi. Que sera sera.
Tapi lama-lama
Rhea tidak bisa tinggal diam. Adrian Russel yang ia kenal adalah pria yang pada
akhirnya bisa menghidupi anak dan istrinya tanpa meminta atau pun bergantung
pada kekayaan orang tuanya. Jika Drian sesibuk ini untuk mendapatkan Manda
kembali, Rhea tidak yakin Drian bisa menempuh pendidikan yang seharusnya. Alih-alih
jadi seorang pria bertanggung jawab, Drian bisa jadi beban keluarga. Atau jika
keadaan jadi jauh lebih buruk, Drian bahkan bisa jadi beban negara. Maksud
beban keluarga adalah jika pria ini tidak bisa melakukan apa-apa untuk dirinya
sendiri bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan beban negara, Drian
bisa jadi buron atau teroris.
~o~
Satu pukulan.
Dua pukulan.
Tiga pukulan.
Dan kali ini Rhea mendapat tendangan sebagai balasan.
“Bangun ga!”
teriak Rhea yang beberapa bulan lalu hanyalah ibu dari seorang bayi perempuan
cantik bernama Alesha Zaneta Russel. Tapi sekarang agak-agaknya ia menjelma
menjadi ibu seorang remaja yang malas sekolah.
“Berisik! Gue
ga mau sekolah.”
“Bucin juga ga
bego-bego amat, ya, Adrian Russel! Kalo segitu sukanya sama Manda ya pepet
terus. Ngaku aja suka tapi langsung mundur padahal baru sekali dua kali
diusir.”
Drian
kehilangan kantuknya seketika. Bucin? ulangnya dalam hati. Drian tidak pernah
mendengar kata satu itu. Tapi sayang sekali sesuatu dari kalimat Rhea lebih
menarik perhatiannya. “Lo jangan sok tau deh, Rhe! Gue kalo masih gangguin dia
lagi, Manda ngancem mau pacaran sama ketua OSIS. Gue bisa apa?”
“Baru diancem
doang! Belum tau ya rasanya nguber-nguber pacar orang? Belum pernah ngerasa
pantat sakit abis nyium aspal, jidat bocor, disorakin rame-rame sama satu
kampus, dibentak, dimaki-maki. Belum, ‘kan?”
Drian terdiam.
Mana pernah dirinya sampai se-ngenes itu.
“Makanya cepat bangun
dan sekolah yang bener. Dia yang nguber-uber pacar orang aja akhirnya bisa
nikah. Perjuangan kamu belum seberapa.” Rhea mendengus melihat tubuh bagian
atas Drian yang tidak ditutupi apa-apa. Tidak seperti tubuh yang Rhea ingat.
Mendekati saja tidak. Rhea berbalik kemudian menyambar handuk untuk kemudian
dilemparkan pada Drian.
“Tapi siapa
dulu nih? Beneran sampe nikah? Ini bukan semacam motivasi biar gue mau sekolah,
‘kan, Rhe?”
“Te- tetangga
sebelah rumahku,” ucap Rhea tanpa balas menatap Drian. “Sampe punya anak malah.
Makanya jangan mau kalah. Cewek yang aku kenal aja bisa ngerebut pacar orang.
Kamu juga bisa ngerebut calon pacarnya ketua OSIS.”
Rhea sudah
berada di ambang pintu ketika ia sadar bahwa dirinya belum selesai. “Kalau
Manda bisa pacaran sama ketua OSIS, kamu juga bisa pacaran sama penggerek
bendera, pembaca Undang-Undang Dasar, bendahara OSIS atau sekretaris OSIS
sekalian. Junioor cewek juga bertebaran dimana-mana.”
“Ngapain gue
pacaran sama semua yang lo sebutin kalo yang gue suka cuma satu orang? Dan
penggerek bendera sekolah kami tiga-tiganya cowok, asal lo tau.”
Rhea
menunjuk-nunjuk tengkoraknya sendiri, “Susah ngomong sama orang baru bangun
tidur,” ucapnya sebelum benar-benar pergi, meninggalkan Drian yang duduk
ditengah-tengah ranjang dengan pandangan nanar. Ya, ‘kan, ga harus pacaran
beneran gitu loh. Cuma biar Manda cemburu aja. Duh, Drian parah ih begonya.
Dua puluh menit
kemudian Drian siap untuk berangkat sekolah meskipun Rhea yakin ia akan
mendapat masalah karena datang jam segini. Namun begitu setidaknya Drian datang
ke sekolah dan mendengarkan penjelasan Ibu atau Bapak Gurunya.
Drian melirik
pergelangan tangannya ketika Rhea mengulurkan kotak bekal. “Ga ada anak cowok
yang datang ke sekolah jam setengah sepuluh pagi dan bawa bekal pula, Rhea
Davina Russel.”
“Rhea Davina
aja! Memangnya kapan aku pernah nyiapin bekal untuk kamu?” tanya Rhea ketus.
Ini emosi Rhea sudah sama dengan emosi emak-emak yang cemas jika anaknya tidak
bisa lulus sekolah dan menjadi orang yang berguna di masyarakat.
“Ini untuk
Manda?”
“Pinter. Kasih
ini ke Manda dan jangan nyoba bikin dia emosi lagi. Setelah dia terima bekalnya
langsung puter balik. Paham kamu Adrian Russel?”
“Ga elo, ga
Manda, ga Zaki, bawaannya emosi mulu sama gue,” gerutu Drian sambil menyambar
kotak bekalnya Rhea. Remaja itu hanya tidak pernah menyangka bahwa dengan
sebuah bekal makan siang saja, tau-tau nantinya Manda sudah duduk manis di
rumahnya.
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar