Jana sadar bahwa dirinya
bukan Bunda yang wajahnya dikenal oleh hampir semua orang. Alasan kenapa dia
menutupi wajahnya begitu topinya dirampas oleh pria yang ia yakin seratus
persen adalah cucunya adalah karena Abang sepupunya adalah seorang pilot. Bukan
sekedar pilot saja, tapi pilot yang matanya tajam sekali. Lengah sedikit, dan
jika dirinya ditakdirkan sial hari ini, Jana akan kembali ke Padang sebelum
hari berganti. Dan dia tidak kabur untuk kembali lagi hanya dalam dua puluh
empat jam. Hanya saja bunyi tamparan barusan begitu keras sampai dia melupakan
wajahnya yang tidak boleh sampai ketahuan oleh pilot bernama Ammar.
Wajah pria itu eh- maksud
Jana wajah cucunya merah sebelah. Jana tidak bisa membayangkan sesakit apa
rasanya karena belum pernah ditampar seumur hidup. “Kak! Cucu kita ditampar!”
ucap Jana heboh sambil menyentuh lengan atas wanita yang sudah pasti Kakaknya.
“Bilal,” tegur seorang Nenek
yang melihat bagaimana cucu kesayangannya di tampar.
“Ga sopan anak ini, Ma. Main
serobot topi Neneknya saja. Kayak ga pernah diajar sopan santun!” ucap Bilal.
Pria itu merasa perlu untuk mengatakan kata Nenek, sekalian menunjukkan bahwa
ini lah Neneknya yang dia telantarkan dari berjam-jam yang lalu.
Menarik topinya kembali,
Jana ragu-ragu berujar, “A-aku, aku ga kenapa-napa, Om. Aku cuma.. kaget.” Begitu
ucapnya sambil menatap langsung pada pria yang menampar cucu pertamanya ini.
Benar bukan? Dia yang entah siapa namanya ini adalah cucu pertama Jana yang
tidak lahir dari anak kandungnya. Alangkah enaknya jadi orang Minang. Tidak
perlu melar dulu perutmu baru bisa punya cucu.
“Sudah-sudah. Kita mulai
jadi pusat perhatian. Ayo pulang,” ucap Nenek-nenek yang tidak terlalu Jana
pedulikan keberadaannya dari tadi.
Nenek-nenek? ulangnya membatin kemudian otaknya memutar percakapan
di telfon tadi. “Tante bukan Kakak? Ne- maksudku.. Kakak?” tanya nya yang
tampak sangat syok. Tampak lebih tidak terima punya Kakak yang sudah keriput
dan layu seperti wanita di depannya ini daripada punya cucu yang muda dan
tampak sebaya dengannya.
Nenek tersebut tertawa geli
kemudian menghela Jana menjauh. Tiga orang lainnya mengikuti mereka tapi tetap
dengan menjaga jarak. Bilal, nama pria yang menampar anaknya sendiri tadi lah
yang membuat dua orang lainnya berjalan pelan. Untuk memberikan para orang tua
privasi. Anak gadis yang dipeluk erat seolah Mama sudah lama tidak bertemu
dengannya itu, walau bagaimanapun adalah “Etek*” jalannya bagi Bilal. *Etek
= Bibi atau Tante.
>>>
Perjalanan pulang terasa
sangat canggung sekali bagi Jana karena dia dan Kakaknya yang keriput berada
dalam suasana ceria sedangkan tiga orang lainnya justru seperti sedang
menghadiri pemakaman. Hening sekali. Yang membuat Kak Siti tertawa bahagia
adalah karena beliau menceritakan pengalaman masa kecilnya di Ranah Minang.
“Kenapa Kakak ga pernah
pulang?”
“Menantuku,” ucap Siti
sambil menunjuk wanita yang duduk di samping kemudi kemudian menceritakan
bagaimana menantu kesayangannya menjadi begitu cengeng tiap kali Siti berkata
ingin pulang ke kampung. “Bisa mogok makan padahal udah bukan anak-anak lagi.”
“Siapa yang tega biarin Mama
pulang ke kampung sendiri, mana ga ada yang jagain,” bela menantu Kak Siti yang
sepertinya juga akan Jana panggil menantunya mulai dari sekarang.
“Nama menantu kita siapa?”
bisik Jana pada Kakaknya.
“Rizka, Tek. Nama
saya Bilal dan nama anak yang ga becus jemput Etek hari ini..” Bilal
sengaja menjeda kalimatnya demi melirik tajam pada putranya yang duduk di
samping Tek Jana melalui spion depan mobil.
“Nama gue Khaleef
Akarsana Syahzad, tapi orang yang tadi lo liat nampar anaknya sendiri, justru
ngasih gue nama kecil yang kekanakan.” Kalo gue beneran Raja, udah ga tau
gimana nasib anak kesayangan Nenek sekarang, ucap Raja membatin.
“Kamu lupa kalo kamu bicara sama Nenekmu?!”
“Iya, Lupa. Ga kaya Nenek-Nenek soalnya.”
“Aku, ‘kan, memang ga kelihatan kaya Neneknya,” bisik Jana yang bisa
didengar dengan baik oleh Raja dan juga Neneknya Raja.
>>>
Sampai di rumah yang tidak bisa dikatakan sederhana itu, Jana melihat
bagaimana cucu barunya keluar kemudian menghempaskan pintu mobil dengan
sengaja.
“Raja!” pekik Om Bilal menggelegar, membuat Jana ketakutan
padahal yang sedang mendapat masalah adalah pria yang namanya cukup bagus tadi.
“Apa Papa harus panggil nama kamu dua kali?”
Dengan ajaib, Jana melihat bagaimana pria yang jeals-jelas sedang sangat
marah itu berbalik kemudian kembali mendekat pada mereka berempat yang masih di
dalam mobil.
“Bawa barang-barang Nenekmu, antarkan dia ke kamarnya biar bisa
istirahat dan minta maaf! Papa tau kamu malu kalau harus dipaksa minta maaf di
depan kita semua.”
Jana melihat Raja memejamkan kedua matanya kemudian mendengus kesal.
Apakah Om Bilal tidak senang Jana menumpang di rumahnya? Sampai membuat anaknya
sendiri memusuhi Jana di hari pertama mereka bertemu?
Jana otomatis meringkuk ke arah Kak Siti saat Raja membuka pintu mobil
dan memasukkan kepalanya. “Mau digendong, Nek?” tanya Raja sambil menarik
ransel Jana.
“Eh- engga! Enggaa... Nenek kuat begini kok,” ucap Jana yang dalam hati
mengumpat. Tidak rela sekali menyebut dirinya Nenek.
Jana mengikuti Raja keluar. Tapi baru anaknya Fateh itu keluar dari
mobil, Raja sudah berada di depan pintu rumah. Tidak heran juga sih, Raja punya
sepasang kaki panjang yang mungkin turun dari Jana. Kamu salah kalau kamu
berpikir Jana adalah gadis pendek yang butuh laki-laki tinggi untuk membantunya
menjangkau benda yang dia inginkan.
“Aku harus langsung istirahat?” tanya Jana pada Om Bilal. Tidak butuh
waktu lama untuk mengetahui siapa penguasa rumah ini, bukan?
“Iya. Etek pasti capek.”
Jana mengangguk lemah dan membenarkan bahwa dirinya lelah. Tapi bukan
karena perjalanan Padang-Jakarta melainkan karena dirinya sendiri yang membawa
dirinya masuk ke rumah Om Bilal.
Sepeninggal anak-anak, Bilal menoleh pada sang Mama. Saat ini, selain
memberikan tempat untuk Bibinya, Bilal juga menyediakan tempat sembunyi untuk
seorang anak gadis yang kabur dari rumah. Dengan keluarga mereka yang tidak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Anak ini, ga kelihatan hamil, ‘kan, Ma?”
“Sembarangan kamu!”
“Terus apa yang bikin Putri Sumatera jilid dua ini kabur dari
istananya?”
“Jana janji cerita tapi kamu, sebagai anak yang berbakti langsung nyuruh
dia istirahat. Kamu tahanlah rasa penasaranmu itu sampai makan malam nanti,”
kekeh Siti pada putranya kemudian meninggalkan anak dan menantunya itu. Tentu
saja setelah memperingatkan putranya untuk tidak terlalu keras pada Raja. “Kamu
yang main tangan begini jangan menyesal kalau nanti dia juga memukul menantu
dan cucumu,” begitu ucapnya.
>>>
“Raja!” panggil Jana karena
setelah membukakan pintu kamar yang diperuntukkan padanya, pria itu langsung
keluar begitu saja.
“Ada perlu lagi, Nek?” tanya
pria itu dengan mata yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.
“Syahzad artinya anak Raja.
Anak raja pada akhirnya bakal jadi Raja jadi ga ada salahnya kalo Om Bilal
manggil kamu Ra-” Semakin tiap kata barusan terucap semakin Jana merasa Raja
benci namanya sendiri. “Maksudku. Aku sebagai Nenekmu.. bisa kok bantu jodohin
kamu sama salah satu putri kerajaan Brunei kalo ada yang kamu suka. Biar nama
kamu ga sekedar nama.”
“Satu selalu komplen sama
kelakuan gue dan sibuk memperbaiki yang dia pikir harus diperbaiki, datang lagi
satu yang baru ketemu udah mau jodohin gue. Lo tau banget kalo lo punya hak
untuk ngatur idup gue, sama kaya seseorang. Ga heran kalo lo memang Nenek gue.”
Jana meneguk ludahnya kasar.
“Aku kesini ga cari musuh. Aku-”
“Sayang sekali lo udah punya
satu karena bikin gue digampar bokap gue sendiri.”
“Aku yang salah? Aku yang
gampar kamu? Salah siapa yang-” kalimatnya tidak pernah sampai karena pintu
kamar barunya dihempaskan tepat di depan muka Jana. Untung hidung mancungnya
tidak apa-apa.
“Sialan!”
“Sialan!” ucap keduanya.
Namun kata tersebut tidak ditujukan untuk satu sama lain melainkan pada situasi
yang selanjutnya akan mereka hadapi.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar