Chapter 5
Shakka memasang wajah datarnya begitu pintu kamar
kembali diketuk. Mama benar-benar tidak jera memancingnya untuk keluar dari
kamar. Namun saat ia membuka pintu kamar, Ia justru menemukan adiknya di sana.
Itu pun Shakka harus menoleh ke bawah, kalau tidak, ia tidak akan menyadari
adiknya berada di sana.
“Papa
nyuruh Abang makan.”
“Papa
udah pulang?”
“Kalau
Papa belum pulang, aku ga mungkin ada disini, ‘kan?”
“Abid,
kenapa kamu milih jawaban yang panjang padahal kamu bisa jawab pertanyaan Abang
dengan satu kata aja?”
Megantara
Abid Padmaja mengedikkan bahunya cuek. Bocah itu berbalik dan meninggalkan anak
kesayangan Papa begitu saja. Abangnya memang mulai besar kepala sejak ia
menjadi anak kesayangan Papa yang nomor satu.
Beberapa
saat setelah Abid kembali ke meja makan, ia mendapati Abangnya mendekati papa.
Tidak ada yang tau kenapa pulang-pulang Abang babak belur seperti itu. Mama
bahkan bolak balik ke kamar Abang, menawarkan untuk mengobati lukanya hanya
untuk ditolak berkali-laki.
“Pa..
Ada surat untuk Papa.”
“Surat
ap- kenapa dengan wajah kamu?” tanya Rama saat mendongak dan menemukan luka
lebam pada tulang pipi putra sulungnya.
“Datang
ya, Pa.. kalo Papa ga datang aku ga bisa masuk kelas.”
“Shakka!”
“Aku
nonjok dua anak cowok di Bina Bangsa.” Shakka mendorong suratnya ke arah sang
Papa, kemudian duduk tepat di samping beliau.
Obrolan
Papa dan Abang barusan memang terdengar sedikit tidak nyambung tapi biar Abid
jelaskan. Papa bertanya apa yang terjadi pada wajah Abang dan jawaban Abang
berupa permintaan agar Papa datang ke sekolah atau ia tidak bisa masuk ke
kelas. Namun dari kalimat Abang berikutnya setelah Papa menyebut namanya dengan
nada penuh peringatan, kita bisa menyimpulkan Abang mendapat lukanya karena
ditonjok balik oleh teman satu sekolahnya. Begitu saja dan tidak ada pertanyaan
lanjutan seperti alasan kenapa Abang sampai menonjok dan ditonjok balik oleh
dua orang temannya. Karena apa? Karena Papa akan mengetahuinya besok saat
beliau datang ke sekolah Abang. Andai Kakak ada disini maka Abida tidak perlu
penasaran dengan apa yang terjadi pada Abang. Karena Kak Keysha lebih seperti
pawangnya Abang alih-alih kembaran.
“Luka
kamu sudah diobati?”
“Sudah.”
“Belum,”
jawab Abid dan Abangnya bersamaan. “Belum, Pa.. sejak pulang sekolah Abang ga
keluar kamar.”
Rama
mendengus mendengar penuturan putra bungsunya. “Kamu bisa obati sendiri atau
perlu bantuan Mama?”
“Sendiri.”
“Mama,”
ucap Abid yang mendapat pelototan dari Abangnya. “Sama Mama aja, Pa.. ditanya
udah diobat atau belum aja Abang bohong gimana kita bisa percaya dia beneran
bakal ngobatin wajahnya?”
Terima
kasih pada Abid karena berkat mulutnya yang ringan sekali untuk ikut campur,
Shakka jadi duduk pasrah di depan Mamanya saat ini. Mamanya yang masih saja
ingin bicara padanya. Shakka bukannya tidak mau bicara dengan Mama. Ia telah
mencobanya dan itu sama sekali tidak berhasil. Bicara, selama yang Shakka tau
adalah proses dua arah. Namun bicara versi Mama adalah bagaimana beliau meminta
Shakka untuk mengerti.
“Nak..”
ucap Naya sambil memberikan obat oles pada luka putra sulungnya. “Kamu ga
sengaja bikin diri kamu sendiri babak belur untuk membalas Mama, ‘kan?”
Kedua
alisnya menyatu seketika mendengar kalimat sang Mama. Mau tidak mau Shakka
menoleh pada wanita yang paling ia sayangi itu. “Kalau aku pulang lebih parah
dari ini, apa aku bisa bertemu Key?”
Wanita
itu tau kenapa Shakka sampai bicara seperti barusan. Shakka dan Keysha, mereka
lebih baik terpisah dari Rama atau pun Naya, sang Mama, daripada terpisah dari
kembarannya sendiri. Tapi Naya tidak bisa membiarkan Shakka mengetahui di mana
keberadaan kembarannya. Semua ini tidak sesederhana Shakka yang dipisahkan
dengan kejam oleh Naya dari kembaran yang ia sayangi. Ini tentang Keysha yang
sedang berusaha mendapatkan pengakuan dari Papanya. Keysha yang sedang
membuktikan dirinya.
Tidak
mendapat respon apa-apa dari Mama, Shakka menarik wajahnya menjauh. Mama memang
bukan lawan yang sembarangan. Keras Shakka lebih keras lagi Mama. Dengan atau
tanpa bantuan Mama, Shakka akan menemukan Key dan membawanya pulang. Begitu ia
membawa Keysha pulang, Shakka akan meminta Papanya yang pergi dari rumah. Lihat
saja nanti.
“Besok,
Mama aja ya, yang ke sekolah,” ucap Naya pada putranya yang sudah tidur
membelakanginya.
“Pertemuan
besok itu untuk Papa, Ma.” Untuk mempermalukan Papa, sambung Shakka membatin.
>>>
Pagi
ini sesuai janjinya kemaren, Shakka mengantarkan Abid ke sekolahnya dulu baru
berangkat ke Bina Bangsa. Bell sudah berbunyi beberapa menit sebelum ia sampai
di Bina Bangsa. Shakka sama sekali bukan tipe siswa yang senang telat memasuki
kelas hanya karena ia adalah siswa paling pandai satu sekolahan. Mama tidak
akan senang mengetahui itu. Hanya saja pagi ini ia memang tidak diizinkan untuk
masuk bukan?
Shakka
sudah berdiri beberapa meter di depan tiang bendera ketika ia merasakan
kehadiran orang lain di sebelah kirinya. Melirik sekilas, ia menemukan
wajah-wajah penuh lebam yang terasa begitu familiar meskipun baru bertemu
sebanyak dua kali. Galih dan Evan namanya, mereka sempat berkenalan setelah
mendapatkan surat panggilan orang tua siang kemaren. Kedua anak laki-laki itu
tersenyum lebar padanya. Hanya karena mereka memukuli dua orang yang sama,
keduanya langsung saja merasa akrab sampai tebar senyum seperti itu. Shakka
tidak berniat untuk membalas senyuman mereka sama sekali.
Tak
lama kemudian, Shakka menoleh ke kanan dan mendapati Ilham, nama anak laki-laki
ini, yang mengadukan kepada guru bahwa Shakka, Evan dan Galih satu geng dan
sengaja mengeroyok Arif. Padahal jelas-jelas dia lah yang satu komplotan dengan
Arif. Kalau tidak kenapa dia ikut campur coba?
“Cyntia!”
Orang
yang dipanggil Cyntia itu menoleh kesal ke arah datangnya suara dan menemukan
teman satu kelasnya. “Kan udah dibilangin jangan pangggil Cyntia.”
“Iya
deh, Acin..” ucap siswi dengan name tag Quincy Maharani.
“Icin!”
“Sori
sori.. Icin ya.. nama lo aneh sih, susah gue ngafalnya.”
“Lo
kok bisa telat juga?” tanya Quincy pada Icin.
“Air
di kosan gue mati, padahal gue udah bayar dimuka untuk enam bulan loh. Sialan
banget gue dapat kosan,” adu Icin pada teman barunya. Selain air yang mati,
alasan kenapa ia bisa telat adalah karena Icin menelpon Bang Arez semalaman dan
minta dijemput pulang. Untuk bagian ini, rasanya Icin tidak perlu curhat pada
Quincy.
“Kalian
mau dijemur sama lima orang itu?” tanya Ketua OSIS yang kebetulan keluar dari
gedung utama. Ia mendapati wajah-wajah biang kerok kemaren yang siap hormat ke
bendera dan bersama mereka ada dua siswi yang sibuk bergosip padahal semua anak
baru sudah masuk ke kelasnya masing-masing.
“Apa
lo liat-liat?” tanya Ilham pada dua anak perempuan yang berdiri tidak jauh
darinya. Padahal barusan ditegur untuk bergegas masuk eh mereka malah menoleh
pada ia dan empat anak laki-laki lainnya.
“Ih,
siapa yang liatin elo? Gue ngeliatin yang paling ganteng kali,” ucap Cyntia
Zahrah kemudian memberikan tatapan menghinanya pada anak laki-laki yang entah
siapa namanya itu.
Galih
berdeham kemudian memastikan tatanan rambutnya masih serapi ketika ia berangkat
dari rumah.
“Oi..
bukan elo..” ucap Quincy pada anak cowok yang langsung senyum salah tingkah.
“Woi!
Masih ngerumpi ya kalian disana.” Mendengar teriakan barusan, dua anak
cewek tadi langsung ngacir, meninggalkan lima anak cowok yang mendengus begitu
pandangan mereka bertemu.
“Tangannya
di kepala, bukan di kantong celana!” ucap June pada lima orang bocah tersebut.
Harusnya kemaren ia dapat kesempatan untuk menoyor kepala mereka satu per satu
eh gara-gara Wyne Amelia yang menawarkan makan siang gratis ia jadi kehilangan
kesempatan emasnya. Untuk beberapa jam kemudian, lima orang itu berdiri dua
meter dari tiang bendera dengan tangan kanan di pelipis, dalam posisi hormat,
sedang tangan kiri memegang pundak teman sebelahnya. Mereka hormat dengan satu
kaki dilipat sehingga pasti butuh pegangan untuk tetap seimbang.
Kelimanya
baru bisa bubar dari posisi paling tidak nyaman itu, posisi dimana kamu harus
merangkul orang yang kemaren memukulmu, setelah pertemuan para orang tua
selesai. Tidak ada satupun dari kelima orang tersebut yang puas dengan hasil
pertemuan itu. Ilham, sebagai orang yang hanya membela satu anak yang dikeroyok
oleh tiga anak lainnya malah dimarahi oleh Abi-nya di depan empat anak berikut
orangtuanya. Arif, yang mencari masalah hanya untuk mendapatkan amukan dari
Papanya justru mendapat senyum lebar beliau saat keluar dari gedung utama.
Shakka, tidak jauh dari Arif yang mengharapkan hal yang sama juga hanya bisa
bersikap tenang dan menyembunyikan kekesalannya karena Papa tampak akrab sekali
dengan Walikota yang tidak lain adalah ayah dari orang yang memukulnya tanpa
sebab. Sedang Galih dan Evan dimarahi karena orang tuanya tidak percaya dengan
tuduhan anak mereka bahwa yang memulai pertengkaran kemaren adalah anaknya
Bapak Walikota.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar