Chapter
4
Senyumnya
langsung hilang begitu sang Mama bergabung di meja makan. Kelakarnya bersama
Abid tak lagi terasa lucu. Shakka meraih ranselnya dengan tangan kanan sedangkan
tangan kirinya ia letakkan di atas kepada adiknya. Menepuk kepada Abid sayang.
“Lusa Abang
yang antar, hari ini kamu berangkat sekolah sama Papa, oke?”
“Oke.”
Melihat
putranya menyelesaikan sarapan terlalu cepat, Rama menegur putra kesayangannya
itu. Ia tidak ingin mendengar Shakka jatuh sakit di hari pertamanya sekolah.
Sang putra pasti juga tidak menginginkan hal itu terjadi bukan?
“Ayolah Pa..
aku ini Shakka. Masa upacara sebentar bisa bikin aku tumbang?” gurau Shakka
pada Papanya kemudian beralasan untuk melihat bagaimana sekolah pilihan Papa
kali ini. Apakah memang sebagus yang keluar dari mulut Papa atau justru
sebaliknya.
“Papa ga akan
salah, ga pernah salah kalau itu untuk kebaikan anak-anak Papa.”
Shakka
mendengus, “Iya, ga salah lagi,” ucap pria itu yang dua kancing seragamnya
sudah ia tanggalkan. Untuk pertama kalinya Shakka merasa seperti berada di
gurun pasir. Sekolah ini panas. Tidak ada AC di ruang kelas, jangan harap ada
AC karena hanya kantor kepala sekolah dan majelis guru saja yang memiliki mesin
pendingin ruangan itu.
Saat ini
Shakka berdiri di lapangan upacara, menatap pada gedung utama di mana
laboratorium, pustaka, UKS dan kantor guru berada sedangkan di kiri dan
kanannya ada gedung Selatan dan gedung Utara. Kenapa Papanya memaksa agar
Shakka bersekolah di sini, heh? Sekolah ini tidak lebih dari kandang ayam.
Namun Shakka tidak akan membantah ataupun menolak perintah Papanya. Ia akan
menjadi satu-satunya yang mengabulkan semua keinginan Papa atau keadaan akan
menjadi jauh lebih buruk dari yang sudah ada.
Merasakan
sesuatu pada bahunya, Shakka menoleh untuk menemukan seseorang yang tidak ia
kenal yang tersenyum terlampau lebar. “Hi,” ucap anak laki-laki itu kemudian
hanya dalam beberapa detik, Shakka merasa rahangnya bergeser.
Anak
laki-laki dengan name tag Arifqy Keano Hadrian itu menyeringai melihat
seseorang yang berhasil ia buat tumbang beberapa detik yang lalu. Ini belum
apa-apa, kalau perlu ia akan mengajak semua guru di sekolah ini untuk baku
hantam. “Lo ngehalangin jalan orang, flower boy,” ucap Arif pada anak
laki-laki yang terlihat sangat cantik.
Shakka
mendengus, ia memang anak kesayangan Rama Dirga Padmaja yang akan melakukan
semuanya dengan sempurna. Tapi tujuannya bukan untuk terlihat baik bagi semua
orang. Ia hanya ingin perhatian Papanya teralihkan sehingga apapun yang
dikerjakan Key tidak terlalu mengganggu beliau. Tapi bukan berarti ia tidak
bisa membela dirinya sendiri seperti saat sekarang. Beberapa saat kemudian
Shakka Orlando Padmaja bangkit hanya untuk kehilangan targetnya. Seseorang dari
arah belakang menarik anak cowok gila yang tiba-tiba memukulnya beberapa saat
yang lalu dan melakukan apa yang sudah Shakka niatkan.
“Apa barusan
gue ga salah liat? Lo mukulin sahabat gue?” tanya anak cowok dengan name tag
Evan Janu Agnibrata. Setelah menonjok si preman gadungan ini, Evan menarik
kerah kemeja anak cowok itu untuk menunjukkan siapa preman sebenarnya di sini.
“Lo bawa
sahabat lo?” tanya Arif pada anak yang berdiri di lapangan sekolah yang ia
pukuli hanya karena dirinya ingin.
“Gue bukan
teman dia,” ucap Shakka semakin membawa dirinya mendekat pada Arif.
“Bukan dia!”
ucap Evan kesal. Padahal jelas-jelas preman gadungan ini menendang perut
temannya dan sekarang ia berlagak lupa? Evan akan membuat anak ini menyesal
mendaftarkan dirinya di Bina Bangsa tepat di hari pertamanya bersekolah.
“Eh, Kampret!
Jalan lo ga bisa lebih lama lagi dari itu?” tanya Evan pada sahabatnya Galih
Mahya Respati yang berjalan tertatih sambil memegangi perutnya.
“Sialan lo..
pegangin aja dulu,” ucap Galih pada temannya. Raden Mas Galih Mahya Respati
berjalan dengan membungkuk, punggung seragamnya kotor belum lagi pada bagian
depan seragamnya tepat di bagian perut ada cetakan telapak sepatu cowok yang
saat ini sedang ditonjok oleh seseorang yang berdiri di sana bersama Evan.
“Van, lo
dapat bala bantuan dari mana?” Ketika Galih sudah sampai di tempat Evan, orang
yang ingin ia buat babak belur hari ini malah sudah berada di atas lantai
dengan seseorang menggantikannya. Menggantikan memukul, maksud Galih.
“Ga kenal
gue.” Evan membungkuk kemudian menepuk pundak anak cowok yang belum ia ketahui
namanya itu. Yang memukuli Arif seperti kesetanan.
“Giliran gue,
kali..” ucapnya membuat Shakka mendengus kemudian bangkit. Sial bagi Shakka
karena begitu ia beranjak, kaki kanan Arif sudah berada di dadanya dan dengan
sekali dorong, Arif membuatnya terpental dengan posisi bokong mendarat di atas
tembok terlebih dahulu.
Tentu saja
Shakka berubah pikiran, ia tidak akan membiarkan Arifqy Keanu Hadrian lolos
begitu saja darinya. Shakka kembali berada di atas tubuh Arifqy dan membubuhkan
beberapa lebam tambahan. Rasanya kali ini ia mendapatkan media untuk
melampiaskan kemarahannya pada Papa juga Mamanya. Shakka menyeringai senang,
ini begitu menyenangkan.
“Woi!! Jangan
main keroyok, Banci!” Ilham sudah melihat semuanya sejak tadi. Satu lawan tiga,
mana adil. Lagian kemana semua senior yang bertanggung jawab untuk acara MOS
hari ini? Kenapa pula tidak ada satupun guru yang melihat bagaimana siswa
mereka dibuat babak belur oleh tiga siswa lainnya?
Raden Mas
Evan Janu Agnibrata dan Raden Mas Galih Mahya Respati tidak pernah
menyukai kata satu itu jika keluar dari mulut yang tidak mereka kenal. Keduanya
serempak berbalik dan mendapati Ilham Bentrand berjalan bak pahlawan mendekati
mereka.
Galih
meletakkan tangannya di bahu anak cowok yang lebih tinggi sedikit darinya.
“Lewatin kita dulu, Mas,” ucapnya dengan senyum ramah. Dan keadaan tidak bisa
lebih kacau lagi. Shakka sibuk menonjok Arif sedang Evan menyatukan kedua
tangan Ilham di balik punggung, membuat cowok itu siap mendapat hadiah atas
kata ‘banci’-nya dari Galih.
Dari lantai
dua gedung Selatan, Arjuna Madhava salah satu panitia MOS tahun ini menggigit
permen tapaknya sehingga permen merah itu terlepas dari tangkainya. Di kasih waktu istirahat, anak-anak itu
malah baku hantam, ucapnya membatin.
“Mau kemana,
June?”
“Wyn.. lo
sekolah disini bukan buat ngawasin gerak gerik gue, ‘kan? Gue senior di sini.”
Wyne Amelia
yang sejak pagi tadi terlihat seperti anak baik-baik bahkan wajahnya yang pucat
itu terlihat bisa tumbang kapan saja, menatap sang Abang dengan kedua alis
menyatu. “Salah ya nanya sama Abang sendiri mau kemana dia?”
“Tuh.. ada
yang kelahi,” tunjuk June pada sekelompok anak baru yang entah apa masalahnya
di hari pertama sekolah.
Wyne mendekat
ke arah jendela kamudian melihat tepatnya lima anak cowok sedang baku hantam.
“Biarin aja, Jun,” ucapnya tidak peduli apakah salah satu dari lima orang itu
pada akhirnya harus mati atau tidak.
June
mendesah, urusan orang lain memang tidak pernah penting bagi Wyne. Begitupun
dengan dirinya. June maksudnya. June tidak terlalu peduli memang, tapi ia
bagian dari panitia MOS dan membiarkan hal ini terjadi hanya akan membuatnya
mendapat amukan dari ketua OSIS dan ceramah panjang dari Bu Wati.
“Jun..”
panggil Wyne pada saat Abangnya sudah berjalan beberapa meter.
“Apa lagi,
Wyne?”
“Makan, yuk..
gue lapar.”
“Yang bayar
yang ngajak!”
“Okeee.”
“Oke.”
Dan begitu
saja, dua orang itu membiarkan lima anak cowok tersebut baku hantam di lapangan
upacara. Seseorang pada akhirnya akan menyadari apa yang lima orang itu lakukan,
bukan?
•°•°•
Abid
mematikan PS-nya menjelang Abangnya pulang sekolah. Mama ingin mereka makan
siang bersama, makanya ia mengalihkan rasa laparnya dengan bermain PS. Bukan
berarti ia begitu lapar juga sih, hanya saja tiap kali Mama memasak makanan
kesukaannya, Abid jarang bisa menunda-nunda untuk makan. Bocah itu sudah
berniat turun ketika ia melihat interaksi Mama dan Abang dan memutuskan untuk
menahan langkahnya.
“Ya ampun,
Shakka..” ucap Naya melihat putranya pulang dengan tulang pipi lebam, seragam
kotor dan belum lagi seragam yang kotor itu tidak terlihat seperti pakaian yang
anak sekolah kebanyakan kenakan karena dua kancing teratas terbuka dan baju
seragamnya pun sudah tidak berada di dalam celana lagi.
Ibu dari tiga
anak itu berniat menyentuh wajah anaknya tapi sang anak langsung menepis
tangannya. Tatapan Shakka masih saja sama selama beberapa bulan ini. “Apa yang
terjadi, Nak?”
“Bukan
apa-apa, Ma.”
“Shakka,”
panggil Naya pada putranya yang sulit sekali untuk diajak bicara. “Mama masak
makanan kesukaan kamu. Abid juga udah nunggu kamu makan biar bisa makan
bersama,” ucap Naya pada putranya yang sudah membelakanginya.
“Aku ga
lapar.” Dan begitu saja, Shakka langsung menuju kamarnya. Ia tidak merasa perlu
untuk makan bersama Mama di saat ia tau Mama lah yang membuat Keysha pergi
darinya. Sampai di dalam kamar, Shakka melempar tasnya asal kemudian melempar
dirinya sendiri ke atas ranjang.
Ini baru
namanya hidup. Sejak matahari mulai naik tadi sebenarnya Shakka sudah berpikir
untuk pulang. Tiba-tiba saja ia merindukan kamarnya yang sejuk. Apakah Shakka
harus menyumbangkan AC di kamar Key pada kelasnya nanti? Mengingat Key juga
tidak ada disini, ‘kan? Sekolah itu lebih terasa seperti neraka. Panas.
Anak
laki-laki tampan yang terakhir kali tersenyum hari ini adalah saat sarapan pagi
tadi sebelum Mamanya muncul itu membawa tangan kanannya ke dada. Dadanya nyeri
gara-gara tendangan Arif beberapa jam yang lalu. Belum lagi tulang pantatnya
terasa sangat sakit. Shakka tidak yakin ia bisa duduk tenang selama beberapa
hari ke depan.
Shakka meraih
ponsel di kantong celananya kemudian memeriksa kolom chat ia dan Keysha.
Berikutnya instagram dan sosial media lainnya yang dimiliki kembarannya itu
tapi Shakka tidak menemukan aktivitas apapun. Seolah Keysha tidak hanya
menghilang dari dunia nyata tapi juga dunia maya.
Membuka
kamera ponselnya, Shakka mengarakhan benda itu pada wajahnya sambil mencibir.
Satu foto berhasil diambil dan Shakka mengirimkannya pada Keysha meski ia tau
kembarannya itu tidak akan melihatnya.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar