Drian disambut
oleh tangis Rhea dan Ale begitu ia membuka pintu. Ale menangis di dalam
pangkuan Kakeknya sedangkan Rhea, bocah itu menangis sambil menangkup wajah
Bapak.
Rhea Davina
menoleh pada Om Drian yang baru pulang. “O-” Rhea tersedak ludahnya sendiri
kemudian kembali berujar disela isaknya,
“Om, kenapa Bapak tua banget?” tanya nya masih sambil menangkup wajah mertuanya
Adrian Russel.
“Sayang, kamu
ga hamil lagi, ‘kan? Melow banget padahal baru beberapa minggu ga ketemu
Bapak.” Setelah mengatakan kalimatnya, Drian menggiring Rhea ke dalam kamar.
Ya, menggiring. Akan lebih mudah jika Rhea Davina adalah benda bulat yang
selalu berada di lapangan hijau karena Drian ingin sekali menggiringnya dengan
kedua kakinya. Bisa-bisanya dia memanggil Drian dengan kata “Om” di depan
satu-satunya mertua pria itu. Mana Bapak belum budeg-budeg amat.
“Aku mau
pulang!”
Drian
memejamkan kedua matanya kemudian menarik napas melalui hidung sehingga lubang
hidung pria itu mengembang.
“Aku mau
pulang, Om. Ini bukan zamanku. Di sini Bapak udah tua dan Ibuk udah ga ada. Aku
ga mau mereka tua. Pokoknya ga boleh! Aku mau terus sama Bapak sama Ibuk sama
Tante.”
“..”
“Aku ga mau
terus-terusan disini Om. Ga mau punya anak! Mana nikahnya sama Om pula.”
“Rhea!” pekik Drian
yang sudah kehilangan kesabaran. Membuat remaja itu langsung menutup rapat
mulutnya. Meski berhasil membuat Rhea bungkam, nyatanya Drian tetap menyesali
tindakannya itu karena Bapak di luar sana pasti bisa mendengar bagaimana anak
kesayangannya dihardik oleh menantu yang sejak awal tidak benar-benar ia sukai.
Bukan karena Drian punya catatan hitam atau cacat di mata Bapak. Tapi lebih ke
bagaimana Rhea mengejar-ngejar Drian. Membuat seolah-olah Drian adalah pria
paling sempurna padahal sebenarnya tidak. Rhea saja yang keterlaluan.
“Kamu harus
pura-pura jadi istriku. Jangan panggil Om. Panggil Drian, Dri atau Sayang. Kamu
mau buat Bapak stroke waktu tau anak perempuannya balik jadi remaja?”
Tapi Rhea tidak
setuju. Kenapa ia harus berbohong pada Bapaknya sendiri. Apa belum cukup Rhea
yang pura-pura jadi istrinya Om Drian di depan tetangga mereka? Kalau Om Zaki
yang bukan siapa-siapa boleh mengetahui apa yang telah terjadi, kenapa Bapak
tidak?
“Karena Bapak
bisa kena serangan jantu-“
“-Tadi stroke,”
ucap Rhea yang hanya membuat Drian semakin ingin meletakkan remaja itu di atas
kuku jempol kirinya kemudian ditindih dengan kuku jempol kanan. Tepat seperti
kutu rambut manusia.
“Oke, bilang
aja. Bilang sama semua orang. Biar nanti kamu di tangkap sama pemerintah dan
dijadiin bahan eksperimen ilmuan-ilmuan giila negeri ini.”
Akhirnya Rhea
diam sediam-diamnya. Disuntik saja dia enggan apalagi jadi bahan percobaan
ilmuan-ilmuan gila seperti yang Om Drian katakan.
Di luar sana,
Alesha sudah berhenti menangis. Bocah
itu menangis karena menyimak orang yang selama ini sering menjaganya. Melihat
Rhea menangis sejadi-jadinya, bocah itu mulai mengeritingkan bibirnya kemudian
lama-kelamaan ikutan menangis. Tapi sekarang, karena yang ia tiru atau contoh
sudah tidak ada bersamanya, bayi itu kembali tenang meski matanya masih basah
karena air mata.
“Kita lihat apa
yang Papa sama Mama kamu lakukan,” ucap sang Kakek pada Alesha. Pria itu tau
bahwa Rhea dan menantunya sedang berada di dalam kamar mereka. Tempat paling
pribadi bagi keduanya.
“Kalian sudah
selesai?” tanya Dito. Meski pria itu menggunakan kata ‘kalian’, tapi semua
orang terlebih Drian tau pada siapa kalimat tanya itu dilontarkan.
“Maaf, Pak,”
ucap Drian. Kemudian disinilah keduanya berada. Duduk dengan di atas lantai, di
depan Bapak yang duduk di sofa.
“Hanya karena
Bapak minta kamu untuk berjanji ga pernah menyakiti fisik Rhea, bukan berarti
kamu boleh meneriaki anak bapak Adrian Russel!” Dito melirik pada menantunya
yang menunduk sama seperti yang sedang dilakukan Rhea. “Terlepas dari
kemungkinan Rhea bertingkah aneh karena sedang mengandung!”
“Aku
mengandung? Hamil maksud Bapak-Akh?” Rhea langsung meringis begitu ruas-ruas
jari Drian memukul lututnya. Kamu paham, ‘kan? Ruas-ruas jari yang ditekuk tapi
tidak sampai membentuk kepalan tangan.
“Bapak ga budeg
Rhea. Bapak dengar kalimat suami kamu tadi.”
Nah, ini maksud
Drian. Bapak Mertuanya belum budeg. Tapi malang bagi Drian karena Bapak tidak
terlalu mendengarkan kata sapaan yang Rhea gunakan padanya. Karena saat itu
Bapak terlalu sibuk dengan tangisan Rhea dan juga cucunya.
Rhea yang sudah
tidak menunduk kembali mendapati wajah Bapak yang ia sesalkan kenapa jadi setua
itu. Remaja itu bangkit untuk kemudian mendudukkan dirinya di samping Bapak dan
langsung memeluk pria itu.
Dan Drian
melihat dengan matanya sendiri bagaimana Bapak mengelus kepala Rhea dengan
tangan yang tidak digunakan untuk memegang Ale. Bagaimana Bapak bisa tidak
menyadari ada yang aneh pada putrinya? Drian masih bertanya-tanya ketika Bapak
mengeluarkan senjata mematikannya.
“Kamu mau
pulang sama Bapak?”
“Pak!”
“Sekarang kamu
neriakin Bapak, Dri?”
Drian kembali
gelagapan. Kali ini Drian ikutan berdiri dan duduk di samping Bapak di sisi
kanan. Meski terbata-bata akhirnya Drian bisa memberikan alasan bahwa ia tidak
bisa membiarkan Rhea dibawa oleh Bapak karena Ale masih butuh Rhea. Memangnya
Bapak rela cucu satu-satunya kelaparan mengingat Ale masih mendapatkan ASI
ekslusif?
“Siapa bilang
Bapak cuma mau bawa Rhea seorang? Ale tentu harus ikut Mamanya. Ale bisa hidup
tanpa kamu tapi engga dengan Rhea.”
Rhea yang
berada di sisi kiri langsung membungkukkan badannya seolah hal tersebut bisa
menyembunyikan dadanya. Secara tidak langsung Om Drian dan Bapak sedang
membahas barang pribadi miliknya. Di depan batang hidungnya langsung.
“Sayang,”
panggil Drian pada remaja yang hanya berjarak tiga perempat meter darinya itu.
Sedangkan Rhea,
dipanggil demikian tepat di depan Bapaknya membuat remaja itu merasa tidak
nyaman. Saat Om Drian memanggilnya dengan cara yang sama untuk yang kedua
kalinya, Rhea menyerngitkan hidungnya sampai gigi depannya kelihatan.
“Apaan si, Om?” mungkin itu
kira-kira arti kernyitan hidung Rhea Davina.
“Rhe, kamu
bantu jelasin dong sama Bapak,” ucap Drian. Segagah-gagahnya dia, kalau di
depan Bapak mertua ciut juga. Mana minta bantuan pada Rhea yang jelas enggan
membantu.
“Rhe, aku ga
kaya ilmuan-ilmuan gi-”
“-Tadi itu
Drian ga marah beneran kok, Pak,” ucap Rhea cepat-cepat setelah mendengar kata
ilmuan yang Om Drian sebut. Mengingatkannya pada ketakutannya untuk menjadi
kelinci percobaan.
Bapak
mendengus. Rhea memang selalu membela suaminya apa pun yang terjadi. Sedangkan
Alesha yang berada di pangkuan Kakeknya sedang memasukkan jempol ke dalam mulut
dan menghisapnya.
Rhea kembali
melanjutkan kalimatnya. Bahwa ia menangis dan Drian hanya mencoba
menenangkannya. Karena Rhea tidak bisa berhenti makanya Drian agak mengeraskan
suaranya. Dan yang menjadi alasan kenapa Rhea sedih adalah kesadarannya bahwa
orang tuanya sudah tua. Rhea mengaku semakin sadar akan hal ini ketika Bapak
minta ditemani untuk membuat kaca mata baru karena milik beliau sudah patah dan
sudah tidak bisa membantunya melihat seperti beberapa tahun yang lalu.
Disanalah Drian
tau apa alasan sebenarnya Bapak datang ke apartemen hari ini. Ternyata Bapak
tidak menyadari keanehan pada Rhea karena beliau tidak memakai kacamatanya.
“Ale ga bisa
kalo ga tidur sama Papanya, Pak,” aku Rhea yang sama sekali tidak berbohong.
Dito
menggenggam tangan putrinya. “Kamu selalu punya Bapak sebagai tempat pulang
kalau suami kamu tidak memperlakukan kamu dengan baik, Rhea.”
“Bapak harus
berumur panjang biar aku selalu punya tempat pulang,” ucap Rhea dan hanya Tuhan
saja yang tau bagaimana hati sepasang anak dan Bapak itu pedih dengan kalimat
barusan.
“Bapak pasti
panjang umur karena Bapak ga percaya sama suami kamu.”
“Aku dengar
Pak.”
“Bagus kamu
dengar,” celetuk Rhea mendahului Bapak yang berniat mengatakan tiga kata
tersebut dengan urutan persis.
Dan hari itu
Drian mengetahui bahwa selama satu setengah tahun terakhir Bapak menyembunyikan
atau lebih tepatnya ia dan Rhea tidak tau bahwa penglihatan Bapak semakin
parah. Terbukti dari resep kaca mata baru beliau. Drian rasa, ia tau dari mana
Rhea mendapatkan salah satu sifatnya yang tidak pria itu sukai. Sifatnya yang
cenderung menyimpan semuanya sendiri.
Kini Drian
berjalan di belakang Bapak dan Rhea. sedang di bahu kanannya, kepala Ale sudah
terkulai. Bayi itu tidur sambil menunggu kacamata Kakeknya jadi.
“Gimana kaca
mata baru Bapak?” tanya Rhea yang mengalungkan tangannya di sekeliling lengan
Bapak.
“Terang banget.
Sampai bikin kamu yang udah punya anak ini kaya anak Bapak yang baru mau lulus
SMP.” Tidak sepenuhnya berbohong karena bagi Bapak, Rhea tetap akan menjadi bayi
kecilnya sampai kapanpun.
Rhea malu
mendengarnya karena kenyataannya dia adalah siswi SMA. Siapa yang tidak girang
saat disebut seperti bocah SMP, bukan? “Bapak bisa aja,” ucapnya dengan sebelah
tangan menyentuh pipi yang sudah pasti merona.
~o~
“Ini apa?”
tanya Rhea pada Drian yang mengulurkan delapan lembar pecahan seratus ribu.
“Ambil aja.
Buat elo. Bukan dari hasil jual cincin, kok.. tenang aja.” Drian mengingat
bagaimana ia datang ke kampus tempat Papanya mengajar kemudian mengantri
bersama lima orang mahasiswa yang ada janji temu dengan Papa untuk kemudian
meminta uang. Hal yang harusnya tidak pernah ia lakukan. Aslan Russel tentu
kaget melihat putranya. Kenapa Drian tidak menelfon saja. Pertama karena bagi
Drian saling telfon itu hanya untuk dua orang yang akrab. Yang mana hal itu
juga sangat kontradiktif dengan apa yang sedang ia lakukan, yaitu meminta uang
pada orang yang tidak dekat dengannya. Dan kedua mau dikirim kemana uang
tersebut karena Drian sudah kehilangan ATM miliknya.
“Aku kan udah
boleh tinggal di rumah kamu. Itu aja cukup kok,” ucap Rhea yang semakin tidak
nyaman karena uang tersebut semakin diulurkan padanya.
“Buat beli
keperluan lo. Beli baju biar ga pake baju gue melulu. Beli persediaan datang
bulan lo,” ucap Drian yang enggan jika kata ‘pembalut’ meluncur dari mulutnya.
Rhea memejamkan matanya mendengar sepasang remaja yang juga sepasang
kekasih bertengkar karena dirinya. Satu-satunya yang Rhea pikirkan sekarang
adalah kenapa ia tidak pakai KB yang lain selain pil yang biasa ia telan.
Salahkan Rhea yang terlalu takut dengan jarum suntik sehingga pilihannya mentok
pada obat telan satu itu. Sejak Drian pulang, terlambat seperti biasa tentu
saja, Rhea sudah minta tolong pada bocah itu untuk membelikannya pembalut.
Padahal Rhea tidak banyak maunya. Hanya minta Drian membelikan pembalut
apa pun yang bisa ia dapatkan. Tidak menyebutkan merek favoritnya, tidak
meminta panjang tertentu. Tidak menyulikan Drian lah pokoknya permintaan
tolongnya itu.
“Lo bisa suruh gue apa aja tapi engga yang satu itu.” Itu adalah jawaban
yang Rhea dapatkan dari pria yang telah membuatnya melahirkan seorang anak
manusia.
Tapi Rhea tidak bisa bertahan tanpa pembalut. Dia bisa membuat rumah ini
seperti medan perang kalau tidak pakai pembalut. Makanya saat Drian mandi, Rhea
mencuri ponselnya dan menelfon ‘calon adik iparnya’. Meminta Manda untuk datang
dan membawakan pembalut juga minyak angin. Rhea selalu masuk angin saat tamu
bulanannya datang. Tidak pernah terlalu memikirkannya apalagi memeriksakan diri
ke dokter. Yang ada wanita itu bisa pingsan duluan sebelum mendengar diagnosis
dokter.
Dan seperti ‘calon adik ipar’ kebanyakan, Manda langsung datang
membawakan semua yang Rhea butuhkan. Sayang sekali hal itu membuat Drian marah
besar. Karena katanya, jika Drian saja tidak melakukan hal yang Manda lakukan
untuk Rhea, kenapa Manda harus melakukannya? Mudahnya gini, Drian aja ogah kok,
kenapa Manda sampe repot-repot? Mana rumah Manda lumayan jauh dari rumahnya
Drian.
“Karena aku mau pacarku juga melakukan hal yang sama saat aku sakit!”
pekik Manda kesal. Drian terlihat jijik pada apa yang sedang mereka bahas.
Seolah datang bulan adalah masalah sepele dan perempuan harus menanganinya
sendirian.
“Kalo kamu segitu jijiknya sama datang bulannya kaum aku, kenapa kamu ga
pacaran sama bencong aja Dri?!”
“Kita beneran berantem gara-gara Rhea, Mand? Kamu lebay banget tau ga?
Rhea udah gede dan harusnya dia tau gimana cara ngurus diri sendiri!”
Ingatan Drian
berhenti pada kalimatnya tentang Rhea yang bisa mengurus diri sendiri.
Sebenarnya sejak beberapa bulan terakhir Rhea bahkan mengurus Drian.
Membangunkan untuk sekolah, mengingatkan membuat PR, memasak, mengurus rumah,
mencuci. Semuanya Rhea yang lakukan. Meskipun Drian enggan mengakui ini.
Dia hanya
terlalu kesal karena masalah sepele jadi dibesar-besarkan. Saat berdua saja
dengan Manda, Drian bahkan tidak ingin membahas hal-hal seperti datang bulan.
Dan keduanya malah membahas datang bulannya Rhea yang bukan orang penting.
Baru setelah
dua hari berlalu, Drian sadar bahwa Rhea bukannya tidak bisa mengurus dirinya
sendiri. Wanita itu tidak punya uang untuk membeli keperluannya sendiri. Sejak
hari itu, sejak Manda mendiamkannya, Drian pun ikutan mendiamkan Rhea. Ia juga
enggan duduk di sofa karena ada darahnya Rhea yang menempel disana. Rasa
bersalah Drian muncul saat mendapati Sofa tersebut di dorong keluar rumah oleh
Rhea. Lalu wanita itu mencuci sofa almarhum Mama layaknya Drian yang mencuci
motornya di depan rumah. Semalam Drian sudah duduk di atas sofa yang Rhea cuci.
Tapi wanita itu tidak menangkap sinyal bahwa Drian ingin berbaikan dengannya.
Drian sadar
bahwa diamnya membuat Rhea merasa serba salah. Padahal Drian lah yang
mengizinkan wanita itu untuk tinggal di rumahnya. Drian juga mulai merasa tidak
nyaman karena Rhea yang ia kenal, meski belum terlalu lama, adalah
wanita sok tau dan banyak bacot. Bukan yang menutup mulutnya dua puluh empat
jam. Drian juga khawatir dengan keadaan mulut wanita itu yang tidak digunakan
begitu lama mengingat hanya Drian saja orang yang Rhea ajak bicara.
“Ini dapat dari
mana? Uang celengan?” tanya Rhea yang merasa seperti botol plastik air mineral
yang terombang ambing di lautan. Kadang Drian baik, kadang engga. Belum lagi
pikirannya sendiri yang tidak stabil dan masih berusaha mencerna apa yang
sedang terjadi. Tidak ada tanda-tanda bahwa semuanya akan kembali seperti
semula. Rhea sudah menghabiskan beberapa bulan di rumah ini.
“Pembagian uang
kas kelas.”
“Sebanyak ini?”
“Kan.. mulai
bacot lo, ‘kan.”
Padahal Drian
masih bicara dengan nada ketus tapi Rhea menarik bibirnya membentuk senyuman
tipis.
“Apa-apa minta
tolongnya ke gue aja. Kalo gue nolak kaya kemaren cukup ancam gue dengan elo
yang bakal ngadu ke Manda. Gue pasti langsung gercep,” ucapnya yang tersenyum
samar karena Rhea menerima uang tersebut. Anggap aja Rhea adalah kucing
peliharaan gue yang keperluannya banyak. Pelet, mainan, pasir buat BAB, vaksin.
Dan dengan pemikiran barusan, senyum Drian semakin tegas. Meski kucingnya
ini butuh banyak uang, Drian janji akan mencari cara selain meminta uang pada
Aslan Russel. Si Dosen bandot yang imannya tidak cukup kuat sampai jatuh cinta
dengan mahasiswanya sendiri.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar