“Om,” ucap Rhea
menggoyang-goyangkan tubuh Om Drian dengan telunjuk kirinya. Remaja itu juga
berusaha untuk menjaga agar suaranya tetap rendah sehingga tidak mengganggu
tidurnya Ale.
Tapi ini sudah
yang ke sekian kalinya Rhea mencoba membangunkan Om Drian. “Om Drian,”
panggilnya lagi.
Kali ini Rhea
memberanikan dirinya menyentuh pipi Om Drian. Rhea melakukan hal yang sama pada
pipi Om Drian untuk membangunkannya. Seumur hidupnya Rhea hanya pernah bertemu
dengan Bapak, Ibuk dan Tante yang mengantuk. Ketiga-tiganya akan langsung
bangun jika Rhea membutuhkan mereka tapi pria satu ini berbeda. “Om Drian tidur
kaya orang mati. Gawat! Bisa yatim piatu Ale kalau Bapaknya mati beneran,”
ucapnya pelan. Rhea kemudian berdiri tegak dan memindai seluruh tubuh Om Drian.
Mengira-ngira bagian mana yang bisa membuat beliau bangun kalau di lakukan
sesuatu padanya.
Kemudian
secepat mungkin remaja itu berpindah pada sesuatu yang diliriknya beberapa
detik yang lalu. Rhea yang menggelitik telapak kaki pria itu dengan jemarinya,
eh dia pula yang berteriak kesakitan setelahnya.
“Kamu ga
apa-apa?” tanya Drian yang langsung duduk ketika merasakan gerakan pelan di
telapak kakinya.
Rhea butuh
beberapa saat untuk menyadari bahwa baru saja ia ditendang oleh Om Drian. Lebih
tepatnya Om-Om yang mengaku sebagai suaminya. Remaja itu tidak mengeluarkan
sepatah katapun, ia juga tidak berpindah dari posisinya. Hanya menatap nyalang
pada pria bongsor yang baru saja menganiaya dirinya.
Di depan Rhea
tepatnya kurang lebih satu meter dari ujung jari pria itu, Adrian mengusap
wajah gusar karena mengetahui bahwa Rhea tengah merajuk, marah atau apapun.
Tidak salah lagi. Lihat saja betapa besar bukaan kelopak mata perawan itu saat
ini.
Tidak butuh
waktu lama bagi Drian untuk mengetahui luka pada pelipis kiri Rhea akibat
tendangannya. Posisi jatuhnya Rhea terlalu dekat dengan meja rendah tempat
Rhea, istrinya Drian maksudnya, menaruh foto-foto mereka. Kepala perawan ini
terbentur pada sudut meja kaca tersebut.
Adrian Russel
tidak mengatakan apa-apa ketika mengobati pelipis Rhea. Tapi ketika remaja itu
beranjak menjauh darinya setelah lukanya berhasil ditutupi, Drian menyambar
tangan gadis itu. “Maaf, aku ga sengaja. Lagian salah kamu juga pake gelitikin
telapak kaki orang yang lagi tidur. Mana orangnya itu ga tahan geli.”
Mendengar
permintaan maaf bernada marah tersebut, Rhea meraung layaknya Alesha Zaneta
Russel ketika bayi perempuan itu kesal. ‘Ada apa dengan perawan satu ini?’ Pekik
Drian membatin. Rhea berada di usia satu tahun sebelum usia di mana ia bertemu,
jatuh cinta dan tergila-gila pada Adrian Russel tapi lihat bagaimana
kekanak-kanakannya bocah ini sekarang.
“Rhea, Ale bisa
ikutan nangis kalo kamu begini,” ucap Drian.
“Biarin!”
“Kenapa kamu
kaya bocah banget si, Rhe?” tanya Drian yang menatap lekat pada pelipis Rhea
yang sudah ia obati. Pria itu teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu
di sebuah universitas negeri tempat ia dan Rhea menamatkan pendidikan terakhir
mereka. Tempat di mana Drian juga melakukan hal yang sama pada Rhea. Hari itu
Drian benar-benar kesal pada Rhea yang terus merecokinya dengan pernyataan
cinta. Pria itu yang juga sudah kelelahan karena baru saja pulang dari acara kuliah
lapangan mendorong Rhea dengan lengannya. Tidak bermaksud menyakiti, hanya
ingin gadis itu pergi darinya. Tapi ternyata Drian berakhir menyakitinya.
Hari itu Drian
mendengar pekik kesakitan Rhea tapi ia tidak peduli. Rhea memang selalu membuat
kehebohan, bukan? Dia senang saja semua orang bisa tau apa lagi saat dirinya
jatuh terjerembab di atas aspal. Rhea Davina yang Drian kenal adalah seorang
perempuan yang perasaannya bisa terbaca dengan jelas layaknya sebuah buku yang
terbuka halamannya. Katanya, selain luka di pelipisnya, Rhea juga merasakan
sakit di pinggang belakangnya. Sekali lagi, Drian benar-benar tidak berniat
melukai perempuan yang ternyata adalah seseorang yang akan menjadi istrinya
itu.
‘Kenapa Rhea
bisa lukanya sekarang?’ tanya Drian membatin. Bukannya yang harus melukai
Rhea adalah Adrian Russel yang berasal dari masa yang sama dengannya?
“Emang aku
bocah, Om!” ucap Rhea ketus, memutus lamunan Drian.
“Bocah yang
juga udah punya anak,” celetuk Drian. Pria itu bersumpah bahwa dulu dirinya
tidak sebanyak omong ini. Terima kasih pada kehadiran Rhea dalam hidupnya yang
mengubah Adrian Russel si irit bicara menjadi Adrian Russel si cerewet dan asal
bicara.
“Kamu lagi
datang bulan, ya? Atau ketakutan makanya tadi bangunin aku?” Kali ini Drian
bertanya dengan nada lembut karena barusan Rhea menyentak tangannya yang berada
di tangan pria itu.
Drian tidak
suka saat Rhea, Rhea manapun itu baik yang sudah beranak atau belum, menarik
diri darinya. Perasaan ini mulai terbentuk saat Drian baru mengetahui apa yang
Rhea alami karena dirinya keesokan harinya. Awalnya pria itu tidak terlalu
peduli karena tindakannya itu berhasil membuat Rhea menjauh darinya. Hanya saja
dua hari tidak melihat tingkah Rhea untuk mencuri perhatiannya, Adrian Russel
merasa gelisah. Perasaannya semakin tidak karuan ketika Rhea yang tidak sengaja
bertemu dengannya di perpustakaan kampus menarik satu langkah ke belakang
menjauhinya. Seolah mendekat sedikit saja maka ia aka kembali terluka.
Dan gadis bodoh
di depannya ini adalah orang yang paling sering mengingatkannya pada masa lalu
padahal baru beberapa hari Rhea bersamanya.
“Aku tuh lapar!
Sebelum tidur juga udah laporan kalo aku lapar, ‘kan? Kalo Om ga mau ngasih
makan balikin aja aku ke rumah orang tuaku!”
‘Balikin aja aku ke rumah orang tuaku,” cibir Drian membatin. Tidakkah Rhea terdengar seperti
istri yang ingin diceraikan? Bukannya gadis ini selalu mencibir tiap kali Drian
menyebutnya istri? Atau Drian saja yang terlalu baper?
Menghela napas
pasrah, Drian meraih kembali satu tangan Rhea kemudian menarik remaja itu untuk
maju satu langkah mendekatinya. Aslinya, tubuh Drian memang tinggi menjulang
dan semakin terlihat lebih tinggi karena perbedaan tinggi Rhea yang ada di
hadapannya dengan Rhea yang hilang cukup besar. Drian menunduk kemudian menyeka
air mata Rhea yang menangis kesal tak ubahnya dengan Alesha saat bayi itu
mengamuk.
“Minum susu
mau?” tanya Drian yang kesusahan menatap wajah Rhea meskipun ia juga sudah
membuat bocah tersebut menengadah. Maksudnya biar Rhea bisa lebih tinggi. Dia,
‘kan, masih dalam masa pertumbuhan.
“Ale tuh yang
perlu minum susu!” Suara Rhea masih menunjukkan kekesalannya, meski begitu
dengan polosnya Rhea menyerahkan saja wajahnya pada Om Drian. Tidak memikirkan
hal-hal buruk seburuk dirinya yang bisa saja disosor oleh pria itu.
“Iya sih, susu
kamu tuh yang harusnya diminum Ale.”
“Ini pelecehan
verbal namanya, Om!”
“Ya sudah, kamu
lapar, ‘kan? Aku masakin mie, mau?” tanya Drian yang sudah mendapatkan peringatan
bahaya dari kata ‘pelecehann verbal’ yang terucap dari Rhea.
“Ibuk ga suka
aku makan mie.”
“Ya sudah!”
ucap Drian acuh tak acuh. Saat pria itu hendak berbalik ke sofa yang sudah
beralih fungsi menjadi ranjangnya, Sofa yang bahkan tidak bisa menampung
seluruh kakinya sehingga Drian kadang merasa kesemutan, ia merasakan tarikan
Rhea pada kaos yang dikenakannya.
“Iya, mau,”
rengek gadis itu yang membuat Drian merasa ingin mendengar sekali lagi
bagaimana Rhea mengucapkan dua kata tersebut.
“Drian kenapa
mandang Rhea segitunya, ya?” tanya Sian pada Giam.
Dan tidak ada jawaban yang Sian dapatkan karena sama sepertinya, Giam pun tidak bisa mengetahui isi hati manusia. Tapi yang pasti Giam menatap nyalang pada Adrian Russel yang saat ini terlihat sangat meresahkan.
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar