Kenyataannya hari itu bukan hanya
cincin emas milik Tante Linda saja yang Rhea dapatkan. Tapi juga ongkos pulang
dengan tujuan agar ia tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut dari Bapak.
Seusai makan siang hari itu Rhea
dipaksa duduk di depan bersama Bapak sedangkan Ibuk di belakang sana mencuci
piring bersama Tante. Rhea tidak pernah secanggung ini dengan orang tuanya
sendiri. Terancam tinggal kelas saja Bapak tidak pernah sediam ini padanya.
Beberapa menit berlalu, Ibuk dan Tante
masih belum muncul dan Rhea tau bahwa mereka berdua sengaja meninggalkan Rhea
dan Bapak. Rhea sangat berterima kasih untuk usaha mereka mendekatkatnya dan
Bapak tapi sayangnya tidak ada yang berubah bahkan setelah setengah jam duduk
berhadap-hadapan. Makanya saat Bapak selesai dengan kopinya, Rhea berdiri
dengan niat membawa gelas kopi tersebut ke dapur, tapi..
“Biar saya saja!” ucap Bapak yang
ikutan berdiri. Bapak mengambil alih
gelas tersebut dari tangan Rhea dan hal tersebut membuat matanya memanas.
Kenapa Bapak sedingin ini? Pikir Rhea membatin.
“Pak,” panggilnya tapi Rhea tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Satu
kata saja keluar maka air matanya juga akan keluar.
Sementara Alesha menahan air matanya yang sudah siap terjun bebas, Dito
justru menatap anak muda itu dari atas sampai bawah. “Kamu tau kenapa kamu
diterima dengan hangat di rumah ini?” tanya Dito pada Alesha.
“Karena kamu begitu mirip dengan putri rumah ini yang hilang,” ucapnya
sebagai jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dito tidak ingin melihat Alesha
lagi di rumahnya. Orang tua mana yang akan senang dengan hal ini? Saat polisi
saja sudah menyerah untuk menemukan anaknya, muncul wanita muda yang begitu
mirip dengan Rhea. Kehadiran Alesha selama beberapa hari terakhir membuat istri
dan adik iparnya seolah melupakan siapa yang menjadi anak di rumah ini. Seolah
Rhea mereka sudah kembali melalui kehadiran Alesha yang mana hal tersebut tidak
benar. Sekalipun Dito harus kehilangan putri tercintanya untuk selamanya, ia
tidak akan membiarkan semua orang melupakannya. Ataupun seseorang
menggantikannya.
“Alesha bukan Rhea,” ucap Dito setelah menghela napas panjang.
“Aku tau.”
Mengangguk, “Makanya jangan membuatnya seolah-olah kamu putri saya.”
“Pak, aku-”
“-Kamu engga. Tapi istri dan adik saya,” Dito menjelaskan pada wanita
yang pasti sangat tersinggung oleh sikapnya itu, bahwa semalam ia mendengar
istrinya mengatakan niatnya untuk meminta Alesha tinggal di rumah ini.
“Kamu sendiri setuju bukan bahwa Alesha bukan Rhea? Kamu juga katanya
punya pekerjaan. Sudah pasti kamu juga punya tempat
tinggal, ‘kan?”
Rhea tidak kuasa menahan air matanya. Hanya saja begitu air matanya
jatuh, Rhea cepat-cepat menyeka pipinya. Rhea sempat berpikir bahwa ia tidak
boleh terlihat menyedihkan di depan Bapak. “Aku minta maaf kalau Bapak berpikir
aku berniat menggantikan putri kesayangan Bapak. Aku punya rumah kok, Pak,
walaupun dibeli dengan uang suami. Aku sering main ke rumah Bapak belakangan
karena lagi marahan sama suami.” Oke, sebut Rhea sudah kehilangan akalnya
karena sempat-sempatnya ingin curhat pada Bapak yang bahkan tidak mengenali
siapa dirinya.
Rhea tentu tidak berani mengadu pada Bapak yang ada di masa kininya.
Masa kini maksudnya adalah waktu tempat dia berasal. Rhea tidak akan berani
menambahkan beban pikiran pada Bapak. Jadi biarlah ia mengadu pada Bapak yang
ada di depannya saat ini.
Dito menaruh kembali gelas kopinya kemudian menatap Alesha dengan
tatapan yang jauh lebih lunak dari sebelumnya. “Kalau begitu kembali lah
padanya. Apa pun yang sudah suami kamu lakukan yang menyebabkan kamu semarah
ini, kamu harus ingat satu hal. Bahwa dia bisa kamu sebut dengan kata suami
karena dia mencintai kamu.”
“Bapak sok tau,” ucap Rhea yang kembali menyeka pipinya.
“Kenapa kalian bisa menjadi sepasang suami-istri? Tentu saja karena kamu
dan suami lah yang menginginkannya demikian. Tanpa dorongan dari siapa pun.”
Tangis Alesha semakin menjadi sejak wanita muda itu membahas suaminya sampai
Dito yakin bahwa kekesalan Alesha karena perkaranya dengan suami jauh lebih
besar dari pada kekesalan yang wanita ini rasakan karena pengusirannya.
“Kita menikah karena aku yang mau,” ucap Rhea memberengut karena
mengingat semua usahanya memikat Adrian Russel. Terasa seperti dirinya sendiri
saja yang berjuang selama ini.
“Menikah ga bisa sendiri, Alesha. Sekarang pulang pada suamimu,”
Dan setelahnya
Rhea ingat sekali bagaimana ia diberi ongkos pulang oleh Bapak. Rhea ingat
bagaimana dirinya tidak pernah membelalakkan matanya pada Bapak tapi hari itu
dia melakukannya. Rhea menatap Bapak seolah bola matanya akan meloncat keluar.
Tapi hanya dirinya saja yang menggebu-gebu. Bapak? Jangankan marah, menoleh
padanya saja tidak. Dan yang paling lucu atau justru menyedihkan di sini adalah
uang yang katanya tidak akan dipakai. Uang tersebut justru sudah habis tak
bersisa. Sekarang untuk tetap bisa makan mungkin Rhea harus menjual dua cincin
yang saat ini dimilikinya.
Wanita itu
menangis sejadi-jadinya di dalam hostel tempatnya menginap beberapa hari
terakhir. Penyesalannya untuk semua keputusan demi keputusan yang diambil
selama ini, ketidakpedulian seseorang yang selama ini berbagi duka dengannya
setelah kematian Ibuk dan Tante, pemikiran tentang putrinya yang terus datang
tiap kali dadanya terasa sesak pertanda saat ini putrinya sedang menangis
kehausan atau kelaparan, semuanya menyatu.
Kesadaran diri
bahwa Rhea Davina hanya manusia yang tidak bisa melakukan apapun untuk dirinya
sendiri juga merupakan hal menekan kepercayaan dirinya ke titik paling rendah
yang pernah ada. Rhea bahkan berpikir, mungkin adalah hal yang wajar jika Drian
memilih wanita lain. Dan dirinya lah yang salah karena jadi semarah itu pada
Adrian Russel yang sudah mau menerima wanita tidak berdaya sepertinya.
Bagaimana
tidak? Jika bukan karena Drian, Rhea tidak yakin apakah ia bisa makan dengan
benar, punya tempat berlindung dan tidak memikirkan apapun terutama tentang
keuangan keluarga mereka dengan kebutuhan Rhea.
Kacau. Satu
kata itu lah yang bisa menjelaskan isi kepala wanita tersebut. Dan satu kata
itu juga sudah sangat cukup untuk menjadi alasan kenapa saat ini Rhea berdiri
beberapa meter dari Adrian Russel versi remaja.
Rhea tidak
yakin apakah dirinya yang begitu percaya diri karena mengetahui semua hal
tentang Adrian Russel sudah menua dan pikun atau justru dia tidak tau semua hal
tentang Adrian Russel. Buktinya ia sampai kebingungan mencari sekolah atau pun
rumah Adrian Russel. Dan Rhea merasa beruntung karena ia menemukan bocah Adrian
Russel saat langit sudah begitu mendung dan angin berhembus kencang. Tanpa
ragu, Rhea berjalan lurus pada sekelompok bocah yang sedang bermain basket
tersebut.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar