Chapter 3
Mendapati teman-temannya di ruang tamu di saat ia
baru menghabiskan beberapa jam bersama Shakka, Wyne langsung pucat pasi. Memang
benar bahwa Shakka adalah awal terbentuknya persahabatan mereka tapi bukan
berarti Shakka tidak bisa menjadi alasan hancurnya hubungan empat belas orang
cewek cantik itu. Sebelum masuk, Wyne bahkan mengendus tubuhnya sendiri
memastikan bahwa tidak ada wangi Shakka yang tertinggal pada tubuhnya. Jangan sampai mereka tau jika
barusan pun ia diantar Shakka. Cowok laknat itu benar-benar menyusahkannya. Bahkan
fakta bahwa dia hidup saja sudah membuat Wyne susah. Mana Shakka juga terlalu wangi sampai
Wyne takut aromanya tertinggal di tubuh Wyne.
“Kalian ngapain
kemari?”
“Elo yang ngapain aja dan baru pulang jam
segini dengan baju merah menyala yang bikin mata gue sakit!” ucap Bella,
satu-satunya orang yang sampai sekarang masih menyimpan rasa pada Shakkampret
dan berharap menjadi
istrinya, tau sekalilah Wyne masalah ini.
“Gimana?” tanya Unna
yang segera menarik Wyne agar segera duduk bersama mereka. Semuanya
mengelilingi Wyne ingin mendengar cerita bagaimana setelah pertemuan pertama
dengan Ziko. Namun Wyne menarik diri dengan alasan ingin berganti pakaian serta
menyimpan bahan makanan di dalam kulkas. Ia tidak bisa membiarkan dirinya
berada di tengah-tengah kerumunan anjing pelacak. Maksud Wyne, penciuman mereka
semua setajam anjing pelacak. Apalagi kalau itu sudah berhubungan dengan Shakkampret.
Membuka pintu kulkas
mereka, Wyne kemudian memasukkan belanjaannya beserta kantong kresek yang dari
supermarket. June yang harus melakukan semua ini sebetulnya. Memangnya apa lagi
yang bisa pria pemalas itu lakukan sepanjang hari selain melamun dan memainkan
gitarnya? Ide untuk puisi-puisinya tidak akan muncul sekalipun ia menghabiskan
dua puluh empat jam untuk berpikir.
“Wyn..” panggil June
pada adiknya yang lagi-lagi berpakaian sesuka hati.
“Hm?”
“Gebetan gue lusa
ulang tahun, boleh ga gue-”
“Ga! Kalo lo punya
uang mending disetor ke gue. Atau jajanin perut karet lo itu sendiri.” Drama
June dan calon pacarnya memang tidak ada habisnya. Abangnya itu tampan. Dari lubuk hati yang paling dalam,
Wyne mengakuinya. Tapi sayangnya bukan dia yang memanfaatkan ketampanannya itu
untuk mendapatkan pacar, justru para perempuanlah yang memanfaatkan kebodohan
June. Wyne Amelia tidak pernah melihat laki-laki yang rela kelaparan hanya demi
calon pacarnya senang dengan hadiah-hadiah yang ia berikan.
“Tapi kan-”
“Lo lupa siapa kepala
keluarganya disini?”
June memutar bola
matanya bosan kemudian membuka kulkas yang beberapa saat lalu di tutup oleh
adiknya. Pria itu berlutut kemudian menata semua bahan makanan dengan rapi. Ya,
disini, Wyne adalah kepala keluarga sedangkan dirinya lebih ke arah Ibu rumah
tangga.
Wyne mengunci dirinya
sendiri di dalam kamar mandi di kamarnya dan sekarang kedua tangannya bertumpu
pada wastafel sambil memandang pantulan wajahnya sendiri. Menatap datar lebih
tepatnya.
Tanpa mengalihkan
pandangannya, Wyne menyalakan keran kemudian menampung air tersebut hanya untuk
dibawa pada bibirnya sendiri. Membasuh, menggesek, bagian dari dirinya yang
paling mudah didapatkan oleh Shakka. Dan bibir hanya awal dari kegilaan yang
bisa keduanya lakukan setelahnya.
Tidak lama kemudian
ia membawa telapak tangan basahnya untuk menutupi seluruh wajahnya. Wyne Amelia
tidak tau apa sebetulnya hubungan ia dan Shakka. Mereka jelas-jelas adalah
musuh tapi musuh tidak ada yang.. “Sial!” Semua ini berawal sejak hari itu di
salah satu ruangan di Animedia di tahun terakhir mereka di Bina Bangsa.
“Wyn! Gue kebelet,” ucap Tali mengetuk
kamar mandi milik Wyne dan secepat sang sahabat keluar, ia langsung mengurung
diri di dalam sana.
•°•°•
“Gimana?” tanya Unna
yang segera menarik Wyne agar segera duduk bersama mereka. Ia dan
kawan-kawannya yang lain kembali mengelilingi Wyne seperti kawanan semut yang
mengerubungi sebutir gula.
“Biadab banget ya
punya temen, kalian kebagian ceritanya aja dan gue sendiri yang usaha. Gagal
total pokoknya dan dia udah ga mau ketemu gue lagi, mana gue ga sempat nendang
kon**lnya,” ucap Wyne makin kesal karena ia jadi teringat senyum manis Shakka.
‘Wyne stop sampai disana! Jangan ingat lebih jauh!’ ucapnya pada diri
sendiri.
“Bahasanya!” teriak
sang abang dari arah teras.
“Iya, maaf!”
“Alhamdulillah, gue
jadi puasa besok,” sorak Tzilla senang, dua belas pasang mata jadi menatapnya
aneh. Apa hubungannya kegagalan Wyne dengan dia yang berpuasa?
“Oh, gue nazar kalau
Ziko ga makan umpannya Wyne gue bakal puasa sehari. Kasian temen gue nanti cinlok
sama si Ziko terus menikah dan kena KDRT,” jelasnya pada wajah-wajah penuh
dosa di depannya.
“Imajinasi lo luar
biasa ya, Tzill,” dengus Nadhi. Sempat-sempatnya dia menghayal tragedi hidupnya
Wyne.
“Sama jangan lupa
lusa kita ke rumahnya Icin, siapapun yang ada kelas tolong untuk bolos aja
mengingat gue sudah kangen banget sama si bodoh kesayangan gue. Ga denger
curhatan dia tentang Ilham berhari-hari bikin gue ga nyenyak tidur,” ucap
Quincy pada teman-temannya terutama Wyne yang belum tau apa-apa.
“Tapi kenapa gagal,
Wyn?” tanya Aline yang tentu saja heran. Wyne adalah pemikir yang handal, ia
sudah melakukan banyak hal demi pertemuan hari ini. Lalu kenapa bisa gagal?
“Jangan remehin
persiapan gue ya, Line, semua sudah sempurna. Tapi gue lupa persiapin diri kalo
ada hama yang ganggu acara gue,” ucap Wyne membara, satu harinya terbuang
sia-sia karena harus terjebak bersama si laknat Shakkampret.
“Siapa?” tanya Lisa
kepo.
“Satu-satunya orang
yang terobsesi sama kecantikan dan kemolekan tubuh gue. Siapa lagi kalau bukan
si bego itu,” ucap Wyne penuh kebencian.
“Kaya lo beneran
cantik aja, dan tau apa lo sama kata molek? Bahasa Indonesia lo selalu remedi,
kalau lo lupa lagi. Jangan kebiasaan lupa deh cape gue ngingetin!” suara ini
datang dari arah teras. June orangnya, sang Abang tercinta yang proposal untuk
memberikan hadiah pada calon pacarnya ditolak mentah-mentah bahkan sebelum
kalimatnya selesai diucapkan.
“Kata orang yang
ngos-ngosan supaya bukunya mejeng di rak best seller.” Ucap Wyne bosan kemudian
menatap teman-temannya sambil berucap, “Siapa di antara kalian yang mau adopsi
dia? Muak gue!” ucap Wyne melirik kesal siluet Abangnya yang sedang memainkan
gitar.
•°•°•
“Shakka..” panggil
Naya begitu sang putra pulang. Ia sengaja menunggu putranya itu pulang. Naya
lebih mengenal putranya itu lebih dari siapapun. Setelah ketahuan jalan berdua
dengan gadis itu tidak mungkin putranya pulang awal. Shakka akan menunggu semua
orang rumah tidur dulu.
Langkahnya terhenti
begitu mendengar panggilan sang Mama. Shakka tidak terlalu heran dengan
kegigihan Mama tapi tidak kah ini keterlaluan? Jam berapa ini? Kenapa Mama
masih belum tidur? Pria dengan tubuh tinggi dan kerap kali menunjukkan dua
lesung pipinya saat ia tersenyum, saat dirinya menjadi Abang kesayangan Fay,
itu menatap Mamanya tanpa ekspresi.
“Mama mau bicara.
Ngga..” ucap Naya menyadari kesalahan pada kalimatnya. “Kita harus bicara,”
ucapnya lagi membenarkan.
“Kita bicara besok
pagi, ya, Ma. Aku harus bicara sama Key dulu.”
“Keysha sudah tidur.
Dia baru pulang sore ini dan adik kamu kecapean, Shakka. Kamu mau membangunkan
Key untuk bicara? Kenapa kamu ga bicara sama Mama aja?”
Langkah pria itu
terhenti dan tanpa menoleh pada Mamanya, ia berjalan menuju kamarnya sendiri.
“Malam, Ma.” Begitu ucapnya kemudian menghilang di balik pintu kamarnya
sendiri. Meninggalkan Naya sendiri dengan perasaaan tidak karuan.
Putra kesayangannya,
yang selalu menjadi kebanggan sang suami dan Abang kesayangan bagi adik-adiknya
akan berubah dingin dan menarik diri gara-gara satu hal. Dan Naya tau, untuk
apapun yang telah terjadi atau mungkin yang akan terjadi, dia lah yang harus
menanggung semuanya.
“Shakka..”
ucap Naya lirih agar putranya itu mengerti namun yang ia dapat hanya hempasan
pintu. Tidak pernah ada yang namanya happy ending kecuali waktu
berhenti dan sayangnya mengharapkan waktu berhenti adalah sesuatu yang sangat
konyol untuk dilakukan. Tidak ada yang namanya happy ending karena kalau
akhir seperti itu nyata maka Shakka tidak akan memaksa Naya menceraikan Rama.
Tidak ada yang namanya happy ending karena kalau akhir seperti itu nyata
maka Naya tidak akan mengirim putrinya sejauh mungkin dari sang Suami. Dan
sekali lagi, tidak ada yang namanya happy ending karena kalau akhir
seperti itu nyata, Shakka tidak akan membencinya karena membuat sang putra
tidak bisa menemukan kembarannya dimanapun. Beginilah keadaan keluarganya saat
ini.
“Nak..”
panggil Naya pada daun pintu di depannya.
“Pergi!!”
“Shakka,”
panggilnya lebih lembut namun Naya tidak mendengar suara apapun dari dalam
sana. Putranya pasti sudah menutup kedua telinganya dengan musik keras
kesukaannya.
“Sayang,
ngapain kamu berdiri disitu?” tanya Rama setelah berkeliling rumah mencari
istri tercintanya.
Naya
menoleh kemudian tersenyum lemah pada sang suami. Ia tidak tau apakah dirinya
beruntung karena Shakka tidak mengadukannya pada Rama atau semua ini hanya
menunggu sampai semua orang membencinya seperti yang mulai Shakka lakukan.
Wanita itu membawa dirinya semakin dekat pada sang suami sampai pada akhirnya
ia berada di balik lengan kekar dan hangat itu.
“Aku
rasa kamu perlu kembali ke Animedia karena akhir-akhir ini kamu selalu
menempeli Shakka,” kekeh Rama tapi jauh di dalam sana, hatinya selalu sakit
karena putri satu-satunya yang mereka miliki kabur dari rumah dan membuat sang
istri seperti orang linglung setiap harinya.
“Aku
perlu kembali ke Animedia? Atau kamu perlu aku untuk kembali ke Animedia, Mas?”
“Lebih
tepatnya aku perlu istriku untuk melakukan sesuatu yang membuatnya paling
merasa hidup. Kamu tidak lihat bagaimana Shakka saat ia menggambar. Aku rindu
melihat ekspresi yang sama di wajah istriku.”
Naya
melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang suami, menghidu wangi pria itu
dan kemudian mengangguk tepat di dada Rama. Iya, dia akan melakukan apa yang
Rama mau sambil memberikan Shakka waktu berpikir dan menerima semua ini.
Menerima fakta bahwa semuanya tidak sama lagi. Namun begitu bukan berarti
selamanya mereka seperti ini.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar