“Rhe..”
Drian tidak mendapat sahutan.
“Sayang, Ale nangis itu,” ucap Drian yang berbaring menghadap pada
sandaran sofa.
Bukannya berhenti, tangisan putrinya malah semakin kencang.
Beberapa saat kemudian Drian mengingat sekelebat bayangan tentang kejadian aneh
yang sialnya terasa begitu nyata. Pria itu akhirnya membuka kedua matanya dan
langsung duduk saat dua perempuan di apartemennya memekik di saat yang
bersamaan. Dia sempat linglung mendapati dirinya tidur di sofa. Apa semalam
Rhea mengusirnya? Begitu pikir Drian sebelum mendengar gedoran pintu dan
pekikan seseorang yang memanggil “Om”. Pekikannya bisa terdengar jelas meskipun
pekikan kesal Ale karena tidak ada yang memperhatikannya tak kalah kencang.
Akhirnya Drian tertarik dari lamunannya tentang semua yang telah
ia lalui sejak dua malam yang lalu karena tangisan Ale yang semakin
menjadi-jadi. Putrinya terdengar sangat kesal dan Drian lebih dulu menghampiri
Ale daripada Rhea yang sepertinya masih berbentuk bocah. Karena jika istrinya
sudah kembali, dia tidak akan sebar-bar itu.
“Pagi, Sayang,” ucapnya meskipun tidak akan mendapatkan
balasan. Muka bayinya dan Rhea sudah memerah sempurna dan Drian langsung
menggendongnya. Menenangkan Ale dengan terus mengajaknya bicara, menggendong
dengan sebelah tangan sementara tangan yang satunya lagi sibuk untuk membuatkan
susu sejak sepasang Ayah dan anak itu berada di dapur.
Meski tidak berhenti menangis sepenuhnya setidaknya Ale tidak
sekejang tadi. Bayi itu akhirnya benar-benar diam setelah kepala botol susunya
berada di dalam mulut. Drian rasa Ale sudah bangun sejak tadi dan juga sudah
kelaparan sejak tadi tentu saja. Terlihat dari betapa cepatnya ia meminum susu
formulanya itu.
“Maafin Papa, Nak.” Drian merasa telah menelantarkan putrinya
sampai membuat bayi kesayangan Rhea tersebut harus menangis sampai kejang dulu
baru mendapatkan makanannya.
Sementara Ale menghabiskan susunya, Drian membawa mereka berdua
kembali ke sofa. Drian duduk dengan sang putri berada di pangkuannya. Dia
sengaja menulikan telinga meskipun Rhea masih berteriak kesal karena tidak
dibukakan pintu. Si perawan itu menuduh Drian sengaja
menguncinya padahal siapa yang mengunci dirinya sendiri? Drian sudah cukup
kelelahan semalam untuk bisa menyembunyikan kunci kamar. Kini sepasang Ayah dan
anak itu sama-sama menatap pada pintu kamar yang sekarang pasti sedang
ditendang-tendang.
Ale masih terus meminum susu sedangkan Drian sibuk dengan
pikirannya sendiri. Jika yang ada bersama mereka pagi ini adalah Rhea Davina
Russel, istrinya Drian, pagi keduanya pasti jauh lebih baik dari ini. Ale
mendapatkan ASI tepat waktu dan Drian juga sudah menemukan sarapan di atas
meja. Tanpa Drian sadari ia sudah benar-benar tergantung pada sang istri. Drian
tidak bisa melakukan apapun dengan benar jika Rhea tidak ada bersamanya.
Sedang di atas meja makan sana Sian
mendengus kesal sementara Giam bersiul jenaka. “Siapa yang semalam bilang
pertahanan diri Rhea ga terlalu buruk?” Giam juga mengatakan bahwa seingatnya,
semalam Rhea tetap menggantungkan kunci pintu di sarangnya setelah mengunci
pintu.
“Berisik tau ga?!”
Dan jujur, Giam tidak yakin siapa yang cerdas dan goblok di sini.
Bukannya sudah benar jika Rhea menggantungkan kuncinya di pintu? Jadi meskipun
Drian punya kunci cadangan, pria itu tidak akan bisa masuk.
“Drian ga akan masuk ke kamar anak perawan meskipun perawan itu
istrinya sendiri.”
“Rhea bukan istrinya Drian,” jawab Giam mengingatkan.
“Terserah!” bentak Sian yang ingin sekali melemparkan kunci yang
ia letakkan di bawah bantalnya Rhea tapi jika ia melakukan hal tersebut, Giam
akan menghalanginya untuk mengawasi tiga manusia ini dari dekat. Giam sudah
cukup kesal karena Sian membuat Rhea dan keluarga kecilnya mengalami hal ini.
“Cabut yuk!” ajak Sian yang menjadi tidak tahan dengan remaja
bodoh di dalam sana. Lama-lama di sini Sian bisa khilaf dan membukakan pintu
yang sama bodohnya dengan Rhea itu nantinya.
Ale yang awalnya diposisikan duduk dan membelakangi sang Papa
sekarang sudah dibaringkan namun tetap dalam gendongan Drian. Drian menyisir
rambut putrinya yang basah karena keringat dengan jemarinya. Kembali mengajak
putrinya bicara, meminta pengertian Ale jika sang Papa lamban dalam memenuhi
kebutuhannya.
Ale sedang menjangkau mulut Papanya dengan kedua tangannya ketika
akhirnya pintu beberapa meter di depan mereka terbuka dan Rhea dengan matanya
yang sudah bengkak mendekati mereka. Ale melihat Rhea tepat sama seperti cara
Papanya melihat gadis itu. Sebelah alis bayi itu terangkat
melihat Rhea mendekati mereka.
“Aku kira Om ngunciin aku tau!” ucap Rhea masih dengan
tangis. “Aku kira aku bener-bener diculik, nanti aku diperkosa terus
organ-organku dijual ke black market.”
Dian memutar bola matanya mendengar pengaduan Rhea. Yang
membuatnya kesal adalah Rhea mengadu pada orang yang ia sendiri tuduh berniat
mencelakainya. Siapa yang tidak kesal, ‘kan?
“Lama-lama disini aku stress. Om liat? Pagi ini numbuh jerawat di
pipiku,” adunya masih dengan kedua pipi yang basah karena air mata yang membuat
Drian menghela napas panjang. Telunjuk kanan Rhea menunjuk jerawat yang bisa
tumbuh dalam semalam.
Sedangkan pria beranak satu itu, seingatnya dulu Rhea yang bertemu
dengan Drian di umur satu tahun lebih tua dari Rhea yang berada di hadapannya
ini selalu mencari cara agar bisa bertemu, selalu mencoba menarik perhatian
Drian dengan penampilannya yang manis meskipun mati-matian Drian menahan
dirinya dan tidak mau mengakui bahwa gadis yang selalu mengekorinya itu
terkadang membuatnya ingin mengurung Rhea di rumah agar tidak ada yang bisa
melihatnya. Rhea tidak sadar bahwa dia yang ingin tampil menarik di hadapan
Drian, juga menarik perhatian banyak laki-laki di sekitar mereka.
“Om,” panggil Rhea karena mendapati Om Drian begitu tenang
sedangkan dia sudah bercerita dengan heboh.
“Hm?”
“Lapar, Om.”
“Mandi dulu sana!” ucapnya ketus. Drian tau apa yang remaja itu
inginkan dan Rhea yang ia ingat sangat benci jika apa yang diinginkan tidak
langsung didapatkan.
“Aku maunya makan! Yang bertanggung jawab dong jadi orang!”
Tuh, ‘kan. Apa Drian bilang. Mana bawa-bawa tanggung jawab lagi.
“Tanggung jawab? Memangnya kenapa? Kamu hamil?” tanya Drian mengembalikan
kata-kata Rhea kemaren malam. Pria itu beralih pada putrinya yang hampir
menandaskan sebotol susu formula. Drian mencium pipi Ale kemudian berujar,
“Setelah ini kamu mandi, ya, Nak.”
“Om-”
“Rhea Davina Russel! Aku sama Ale ga butuh kamu yang
merengek-rengek seperti ini. Kamu mau makan? Kerjain yang aku suruh dan
berhenti manggil aku Om!” Tapi setelah kalimatnya itu Drian langsung mengutuk
dirinya sendiri. Drian tidak bisa mencegah dirinya sendiri mengatakan bahwa ia
dan Ale tidak membutuhkan Rhea. Istrinya yang dalam mode bocah ini benar-benar
membangkitkan kekesalan Drian.
“Mandi, Hm,” ucap Drian jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Setelah kita bertiga mandi, kita keluar nyari sarapan,” tambahnya.
“Aku laparnya sekarang dan saat orang lapar, mereka makan, Om.
Bukan mandi.”
Drian sudah mencoba untuk memahami keadaan mereka tapi Rhea lah
yang tidak bisa melakukan hal yang sama. Perkara makan doang, astaga. Selama
ini apa si Perawan ini pikir Drian membuat istrinya kelaparan? Bahkan selama
mengandung Ale saja tidak ada permintaan Rhea yang terlewatkan oleh Drian.
Meskipun bukan orang berada seperti Papanya, tapi Drian memiliki cukup uang
untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Ingin Drian mengatakan hal itu pada
wajah di depannya tapi ia tau Rhea tidak akan mengerti. “Oke. Makan, ‘kan?
Gampang. Beri aku waktu untuk mengurus putriku Rhea. Setelah aku memandikannya
kemudian aku juga mandi, kami akan mencarikan kamu sarapan.”
“Kelamaan Om. Pesan kaya kemaren aja gimana?”
“Kalau kamu ga mau kelamaan makanya mandi dan kamu bisa ikut sama
kami.” Ucapan Drian barusan masih diucapkan dengan lembut tapi jauh dari lubuk
hatinya, Drian justru ingin menjewer telinganya Rhea yang benar-benar keras
kepala. Perkara makan doang mereka bisa berdebat sepanjang ini.
“Cih, katanya sayang sama istrinya, yang istrinya itu katanya aku.
Mana?” ucap Rhea menghentak-hentakkan kaki menjauhi pria yang sedang
menggendong putri kesayangannya.
“Kata orang yang sampai semalam masih ga mengaku kalo sekarang ini
dia ada di rumah suami masa depannya. Mana sampai ngunci pintu dan heboh
sendiri. Sudah lah dia yang pastinya salah naro kunci eh malah nuduh orang
pengen perkosa dia,” balas Drian dan memastikan semua kata-katanya didengar
dengan baik oleh Rhea karena ia pun merasa Rhea sengaja mengatakan kalimatnya
barusan.
“Untung kamu munculnya langsung di apartemen ini. Kalo engga, udah
bener-bener dijual organ-organ kamu tau, ga?” ucap Drian lagi. Pendirian Rhea
semudah itu berubah hanya karena perutnya lapar. Persis sekali dengan kejadian
beberapa tahun lalu di universitas ketika dia mau saja duduk di lapangan depan
rektorat dengan pria yang jelas-jelas menginginkannya. Dan pria itu tidak perlu
bersusah payah untuk mendapatkan waktu dan perhatian Rhea. Hanya modal jaket
varsitinya dijadikan alas agar Rhea tidak duduk di atas rumput dan kemudian
satu kresek jajanan dari kopma atau koperasi mahasiswa.
Dan benar saja, Drian dan Ale sampai terperanjat
mendengar hempasan pintu. Drian tidak bisa untuk tidak memberikan tatapan
bosannya pada Rhea yang kembali keluar setelah menutup pintu dengan kasar.
“Maaf, Om. Anginnya kenceng.” Begitu ucapnya dengan cengiran lebar kemudian kembali
masuk ke dalam kamar. Rhea sedang sangat kelaparan sehingga ia tidak ingin
membuat perkara baru meskipun gadis itu akui bahwa hempasan pintu beberapa
detik yang lalu ia lakukan dalam keadaan sadar.
Drian menggeleng-gelengkan kepala melihat pintu kamarnya yang
kembali tertutup kemudian kembali menoleh pada putrinya. “Badan gadis Papa udah
lengket, ya,” ucapnya lembut. “Sabar ya, Sayang, biarkan Mama kamu yang perawan
itu selesai mandi dan pakai baju baru kita masuk ke dalam kamar.” Drian
kemudian mencium pipi Ale sekali lagi. Aslinya, putrinya dan Rhea memang
seanteng ini. Amukan Ale beberapa menit yang lalu karena bayi ini sudah sangat
kelaparan.
“Kalau dipikir-pikir, kamu mirip sama Mama, Sayang,” ucap Drian
tersenyum geli. Sekarang ia seperti menghadapi dua Rhea yang tidak bisa dan
tidak boleh merasa kelaparan atau dunia bisa gonjang-ganjing.
“Sekarang pertanyaan lainnya selain bagaimana membuat Mama kamu
kembali ke bentuk asalnya adalah bagaimana agar Mama kamu yang bocah itu bisa
lebih memahami keadaan kita, lebih dewasa pola pikirnya,” ucap Drian sambil
menyugar rambutnya dengan sebelah tangan kemudian kepalanya diletakkan di
sandaran sofa. Menatap langit-langit dengan helaan napas berat.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar