Rhea melambaikan tangannya pada Om Zaki
yang harus pamit. Dia yang baru saja mendapatkan kesenangan baru dengan
ponsel canggihnya Om Zaki tiba-tiba merasa gelisah karena pria tersebut sudah
harus pulang. Jika Om Zaki pulang maka Rhea akan berdua saja dong, ya, dengan
Om Drian. Om yang sudah punya anak dan mengakui dirinya sebagai suami Rhea.
Siapa pun pasti merasakan ketakutan seperti yang saat ini Rhea rasakan jika
harus terjebak dengan situasi ini. Mana pagi masih lama. Rhea yang biasanya
jarang berpikir kini tiba-tiba begitu penasaran kenapa malam harus dibuat sama panjangnya
dengan siang.
Perasaan Rhea semakin tidak karuan
begitu melihat wajah Om Drian satu meter dari wajahnya. Pria itu menutup pintu
apartemen membuat Rhea tidak bisa melihat punggung Om Zaki yang mulai menjauh
dan sekarang pemandangan tersebut digantikan dengan Om Drian yang bersandar di
balik pintu dengan memangku kedua tangannya.
“Aku ga punya nomor polisi lagi,” keluh
remaja itu membatin. Ia tidak bisa menghubungi pihak berwajib kalau-kalau
terjadi sesuatu yang Om Drian inginkan. Bener dong, sesuatu yang mungkin
terjadi itu pasti menjadi sesuatu yang disukai oleh Om Drian dan sebaliknya
bagi Rhea.
“Kenapa ada wajah kecewa yang biasanya ditemui pada remaja karena
pacar kesayangannya harus pulang di wajahmu, Rhe?”
“Ha?” tanya Rhea tidak mengerti. Ia
juga belum punya pacar seumur hidupnya. Jadi kenapa pula ada wajah seperti itu
di wajahnya.
Drian menggeleng pelan. Pria itu tidak
ingin membahas hal ini lebih lama. Drian mungkin bisa menemani Rhea lebih lama
tapi tidak hari ini. Ini adalah hari pertama dimana Pria itu mengurusi Ale
hampir seharian. Selama ini selalu Rhea yang melakukannya untuk mereka dan
tidak sekalipun istrinya pernah mengeluh tentang betapa merepotkannya mengurus
bayi. Bahkan dengan bobot badannya yang hanya beberapa kilo saja, lengan Drian
tetap kebas karena menggendong Ale berjam-jam.
“Ale mana, Om?” tanya Rhea saat
menyadari sekarang hanya ada dirinya dan Om Drian saja.
“Sudah tidur,” jawab Drian. Dan
bukannya Rhea tidak tau kalau bayi cantiknya Om Drian sudah tidur. Dengan
membahas Ale, setidaknya Rhea ingin Om Drian ingat bahwa pria itu sudah punya
anak yang sangat ia sayangi dan tidak berbuat asusila pada Rhea.
“Om, mau ngapain?”
Kini giliran Drian yang mengangkat
sebelas alisnya melihat istrinya yang dalam mode perawan terlihat seperti
seseorang yang dalam sekejap mata akan berubah menjadi korban pelecehann
seksual. Sedangkan Rhea, kedua manik matanya bergerak-gerak gelisah. Akhirnya
gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya cepat setelah mengadakan rapat kilat
dengan otaknya yang pas-pasan.
“Tidur. Kamu mau nonton tivi dulu?”
tanya Drian sambil menegakkan punggungnya.
Anggukan Rhea semakin menjadi-jadi yang
mana membuat Drian menjadi begitu kesal. Rhea mungkin tidak tau ini tapi Drian
mengamati semua ekspresi yang muncul di wajahnya dan bukan hal yang sulit untuk
mengerti semua hal tersebut. Pria beranak satu tersebut menghela napas berat
kemudian masuk ke dalam kamar untuk kemudian keluar lagi dengan bantal dan
selimut.
“Makasih, Om” ucap Rhea riang. Dia
menghadang Om Drian dengan wajah terlalu bahagia. Rhea tentu tidak akan mau
tidur bersama Om Drian meskipun pria itu mengaku bahwa dirinya adalah suami
Rhea di masa depan. Yang tentu saja membuat pria itu mendengus dan
memperingatinya untuk menyingkir.
“Ale mau dibawa kemana?” tanya Rhea
melihat kali ini Om Drian membawa putrinya setelah keluar dari kamar untuk yang
kedua kalinya.
Drian sengaja menulikan telinganya
kemudian memastikan putrinya tidur dengan nyaman di atas sofa. Setelahnya ia
kembali ke dalam kamar untuk mengeluarkan ranjang bayinya Ale. Sekarang Ale
sudah kembali tidur di ranjangnya dan Drian juga sudah membaringkan dirinya di
sofa ketika kemudian matanya bertumbukan dengan Rhea yang tampak tidak mengerti
dengan semua yang Drian lakukan.
“Kamu boleh gunakan kamarnya,” ucap
Drian yang sudah terlalu lelah.
“Om ga akan pindah?” tanya Rhea sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil bertanya.
“Kalau kamu segitu takutnya sama aku,
kenapa ga kunci sekalian kamarnya? Dan sampai kapan kamu mau panggil aku begitu
Rhea?”
Rhea mengerucutkan bibirnya. Bagaimana
Om Drian ingin dipanggil? Dengan namanya? Atau dengan kata ‘sayang’? Setuju
atau tidak setuju, umur mereka memang terpaut cukup jauh sehingga Rhea paling
nyamannya memanggil pria itu dengan kata sapaan ‘Om’, kok.
Kembali mendengus melihat Rhea sibuk
dengan pikirannya sendiri, Drian akhirnya mengusir Rhea untuk cepat-cepat masuk
ke dalam kamar dan mengunci pintu.
“Apa lagi?” tanya Drian dengan kedua
mata terpejam.
“Seprainya bisa.. tolong gantiin, Om?”
tanya Rhea yang wajahnya setengah meter di atas wajahnya Om Drian. Remaja itu
sempat melupakan tujuannya kembali keluar dari kamar melihat betapa lentiknya
bulu mata Om Drian.
“Masih baru itu.”
“Tapi, Om-”
“-Siapa yang nanti bakal nyuci seprainya?
Aku?! Dan ini ganti seprai doang, Rhe.. bukan gantiin popoknya Ale!”
“Kalo makanan bisa dipesan lewat
ponsel, kain kotor juga bisa diantar ke tukang laundry kok, Om.”
“Rhea, ini sudah malam,” ucap Drian
penuh peringatan.
Rhea mengangguk cepat. “Iya, Om.
Makanya cepat gantiin seprainya biar aku bisa kunci kamarnya dari dalam.”
Drian ingat perasaan ini. Perasaan yang
selalu meliputinya saat dulu Rhea selalu muncul di sekitarnya dan memaksakan
keberadaan juga kehendaknya pada Drian. Mungkin, meskipun hanya kemungkinan
saja yang ia punya saat ini, mungkin Rhea masih miliknya. Itu yang muncul di
benaknya Drian saat ini.
Pria itu mengulurkan sebelah tangannya
ke udara, tepatnya ke arah Rhea yang menunggunya untuk menggantikan seprai.
“Salim?” tanya Rhea bingung.
“Bantuin berdiri,” decak Drian kesal.
Salim? Apa Rhea pikir Drian ini gurunya di sekolah yang setiap pulang sekolah
harus salim?
“Badan Om segede gajah gini?” tanya
Rhea yang merasa bahwa barusan Om Drian melemparkan candaan paling tidak lucu
padanya.
Drian menurunkan lengannya dari udara
sambil berujar, “Ya sud-” tapi kalimat juga gerakan tangannya berhenti begitu
pria itu merasakan telapak tangan Rhea di telapak tangannya. Untuk beberapa
saat Drian sempat kehilangan akalnya. Tangan Rhea yang kecil gagal membungkus
tangan Drian nya yang lebih besar dan saat ini si Perawan memandangnya dengan
tatapan polosnya tepat seperti beberapa tahun yang lalu.
“Oh My God!” ucap Giam melihat
adegan di depan matanya. Makhluk berpenampilan seperti laki-laki itu menjambak
rambutnya sendiri. Dan kenapa disebut makhluk? Memangnya ada manusia yang bisa
mengambang di udara tepat di depan jendela besar apartemen Adrian Russel yang
menyajikan pemandangan indah kota di malam hari?
Menatap tajam pada sosok perempuan di
sampingnya, Giam menunjuk pemandangan di depan mereka. “Kamu bercanda, ‘kan?”
tanya nya pada Sian. “Kamu bikin Adrian Russel jatuh cinta sama bocah itu?
Demi Tuhan, Sian-”
Sian mengangkat tangan kanannya
setinggi telinga, guna melindungi telinganya dari Giam yang berteriak histeris.
“Dua kali kamu nyebut Tuhan barusan, Giam. Sejak kapan kamu memeluk agama
tertentu?”
“Penting?” tanya Giam kesal. Tuhan itu
ada, di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Giam dan
Sian yang keberadaannya saja tidak diketahui oleh manusia manapun. Sebagian
besar manusia percaya pada hal ini, kok. “Lihat?!” ucap Giam sambil menunjuk
pemandangan di depan mereka, “Drian masih megang tangannya Rhea yang bukan
Rhea-nya dia!” ucapnya frustasi. “Gimana cara kamu bertanggung jawab untuk
kekacauan ini Sian?”
Sian melayang lebih dekat ke dekat
apartemennya Adrian Russel kemudian duduk membelakangi sepasang manusia yang
harusnya tidak pernah bertemu. Sian melirik pada kendaraan berikut lampunya yang
memenuhi jalan raya yang terlihat seperti ular raksasa kalau dilihat dari atas
sini.
“Drian ga mudah jatuh cinta.”
“Kata siapa?” tanya Giam garang. Ia
melayang mendekati Sian kemudian memukul kaca tersebut sambil berujar, “Kalau
pria ini ga mudah jatuh cinta, dia ga akan-”
“-Kamu bikin mereka kaget, Giam.”
Sedangkan di dalam apartemen sana, Rhea
melirik pada kaca besar yang menghadap pada pusat kota. “Anginnya kenceng
banget, Om. Kacanya ga bakal pecah tiba-tiba, ‘kan, Om? Ale numpang sama aku
aja ga apa-apa kok Om.”
Drian mendengus, “Semua yang ada disini
punya Ale asal kamu tau, Rhea,” begitu ucapnya sambil berjalan menuju kamar dan
menggantikan seprai sesuai dengan yang gadis itu inginkan. Rhea mengikuti
langkah Om Drian dan menempatkan dirinya di salah satu sudut kamar itu selama
Papanya Ale menggantikan seprai untuknya.
“Sudah.”
“Iya,” ucap Rhea dengan cengiran
lebarnya.
“Jawabnya ‘makasih’, bukan ‘iya’,
Rhea.”
“Makasih Om,” ucapnya dan setelah Om
Drian keluar dari kamar, gadis itu memastikan untuk mengunci pintu. Sedang di
sofa depan tivi dimana Drian baru saja membaringkan punggungnya, pria itu
mengeluarkan tawa geli yang bercampur dengan dengusan saat mendengar suara dari
dalam kamar. Rhea perawan sedang memindahkan meja rias tepat di depan pintu
untuk menghalangi Drian yang tidak punya rencana untuk masuk ke dalam kamar.
“Pertahanan diri Rhea ga terlalu
buruk,” gumam Giam.
Sian mengangguk.
“Kita belum nemuin Rhea satunya lagi.”
“Carinya nanti setelah kita mastiin
Rhea bocah aman dari Om-Om levelan Adrian Rus-Sian!” pekiknya pada Sian
yang sudah melayang menjauh.
“Pertahanan diri Rhea ga terlalu buruk,
gitu ‘kan kamu nyebutnya tadi?” tanya Sian tanpa berbalik pada Giam.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar