“Om,” panggil Rhea ragu-ragu.
“Hm?”
“Hm?” sahut Drian dan Zaki bersamaan.
Hanya Drian saja yang menunjukkan wajah terganggunya ketika menyadari bahwa
barusan sang sahabat juga ikutan menyahut. Melirik pada pria yang duduk di
sampingnya, Drian cukup kaget karena mendapati sebagian rambut Zaki mencuat ke udara
karena dijambak oleh pria itu sendiri. Drian tidak tau saja bagaimana Rhea
mencoba untuk mengalihkan pandangan dari temannya yang memandang gadis itu seperti
bocah yang belum pernah memandang anjing laut seumur hidupnya. Iya benar, Rhea
merasa seperti hewan laut yang sedang di pamerkan di depan Om Zaki yang sudah
membayar mahal-mahal untuk masuk ke kebun binatang atau apapun nama tempat yang
memamerkan anjing laut dan atraksi lucunya.
“Lapar,” ucap Rhea lagi namun kali ini
dengan suara yang jauh lebih pelan dari beberapa saat yang lalu ketika ia
memanggil Om Drian.
Sedangkan Zaki yang baru bisa mengenali
perbedaan istrinya Drian setelah dijelaskan oleh temannya itu langsung meraih
ponselnya. Ia membuka aplikasi ojek online dan menyuguhkannya pada Rhea.
“Ini.. apa?” tanya Rhea pada Om yang
dari tadi hanya memandanginya saja.
“Pilih sendiri makan malam yang kamu
suka,” terang Zaki sambil mengulurkan sekali lagi ponselnya pada Rhea yang
duduk di seberang meja makan. “Kali ini biar gue yang traktir,” kali ini Zaki bicara
pada Drian yang terlihat sangat terganggu dengan apa pun yang bisa keluar dari
mulutnya. Drian sudah seaneh ini sejak pria itu sendiri yang mengatakan kalimat
ambigu sehingga Zaki harus menanyakan apa dari tubuh Rhea yang terlihat kecil.
Sedangkan di sisi Zaki, pertanyaan tersebut adalah hal yang sangat normal untuk
ditanyakan. Dia sudah tidak bertemu Rhea selama beberapa bulan, model potongan
rambutnya juga tidak kelihatan bedanya karena remaja itu menguncirnya
asal-asalan, dan yang paling penting adalah Rhea yang ia temui hari ini bukan
yang memakai seragam olahraga atau pramuka, pakaiannya normal saja tuh.
Drian mendengus kemudian membuang muka.
Di situasi seperti ini kenapa dirinya menjadi sangat kekanak-kanakan?
Benar-benar bukan dirinya sekali.
“Om Drian,” panggil Rhea. Kali ini ia
menyebut nama Om yang ia inginkan agar Om aneh ini berhenti melakukan hal aneh
padanya.
“Apa lagi, Rhea?”
“Aku lapar,” rengek Rhea.
“Zaki sudah meminta kamu memilih makan
malammu sendiri, bukan?”
“Aku ga akan kenyang karena memilih
gambar sebanyak yang kuinginkan, Om!”
Kedua alis Zaki terangkat begitu
mendengar komentar Rhea barusan. Pria itu berdiri kemudian memutari meja makan
untuk kemudian menarik kursi di samping Rhea dan berakhir duduk di sana. Tidak
menyadari bahwa kedua alis Drian kembali menyatu melihat tingkahnya atau lebih
tepatnya melihat seberapa dekat Zaki dengan perawan Rhea saat ini. Lama-lama
begini mungkin tidak akan ada celah antara alis kiri dan kanannya Adrian
Russel.
“Kamu ga tau kalo di masa depan makanan
bisa dipesan lewat ponsel?”
Kerutan di jidat Drian hilang seketika
karena menyadari Rhea datang dari beberapa tahun yang lalu. Melihat bagaimana
takjubnya perawan satu itu mendengar penjelasan Zaki membuat Drian semakin
yakin bahwa yang berada di hadapannya saat ini adalah istrinya dari masa lalu.
Sementara itu, di tempat yang sama tapi
dengan nuansa yang sedikit berbeda. Juga perbedaan waktu yang sepertinya agak lebar,
Rhea yang sedang dicari oleh Adrian Russel merasakan detak jantungnya melambat
saat wali kelasnya yang dulu mengatakan bahwa dirinya yang seharusnya ada di
sekolah, atau lebih tepatnya tidur di dalam kelas sudah tidak hadir tanpa
keterangan selama dua minggu.
“Kamu Kakaknya Rhea?” tanya Bu Guru
tersebut pada Rhea.
“Bu-bukan, Bu,” jawabnya sebelum
cepat-cepat pergi. Ada yang salah, ucap Rhea membatin. Ia tidak merasakan sesuatu
yang aneh sedang terjadi begitu mendapati dirinya di tempat bernama masa lalu.
Setidaknya demikian Rhea mempercayai semua ini. Bahwa dirinya terlempar ke masa
lalu. Antara terlempar atau justru diselamatkan dari suaminya yang sudah
menghancurkan pernikahan mereka. Tapi ketika mengetahui bahwa Rhea, dirinya
yang seharusnya mengenakan seragam SMA kekecilan karena dengan keras kepala
menolak dibelikan seragam baru agar Ibu tidak perlu mengeluarkan banyak uang
untuknya, menghilang selama dua minggu, tidak salah lagi. Sesuatu yang aneh
memang sedang terjadi.
Setelah mendapati dirinya di tempat
asing yang juga familiar, Rhea memutuskan untuk tidak mengganggu Adrian Russel.
Lebih baik pria itu tidak pernah mengenal Rhea Davina dalam hidupnya bukan?
Untuk itu, Rhea harus memastikan dirinya versi lebih muda untuk tidak pernah
mendekati Adrian. Sama seperti dirinya yang sempat bingung saat berada di sini,
Rhea versi lebih muda mungkin juga akan bingung sesaat. Tapi Rhea yakin ia bisa
memastikan dirinya sendiri, maksudnya Rhea versi muda, untuk percaya pada semua
yang dikatakannya. Bahwa menikah dengan Adrian Russel mungkin adalah penyesalan
paling dalam bagi mereka berdua.
Rhea akan membuat dirinya versi muda
untuk tidak terlibat apa-apa dengan orang yang di masa depan menjadi suami juga
ayah dari putri cantiknya. Makanya hari ini Rhea langsung menuju sekolahnya
dulu, menemui dirinya yang lain, yang dia pikir tetap ada di dunia ini. Tapi
lihat yang ia temukan. Apakah dirinya versi muda sudah lenyap dari bumi? Dan
apakah Ale juga sudah lenyap? Maksud Rhea adalah jika dirinya yang akan menjadi
istri Adrian Russel sudah tidak ada di bumi ini bagaimana dengan pernikahan
yang menghadirkan Alesha Zaneta Russel? Wanita yang sangat sering menangis
selama beberapa bulan belakangan itu kembali sesenggukan. Beberapa saat
kemudian setelah terpaku melihat tanah yang dipijakinya, Rhea menggeleng pelan.
“Mungkin Rhea sakit,” ucapnya dan tanpa ragu, wanita itu melangkahkan kakinya
ke rumah tempat ia dibesarkan.
~o~
Rhea tidak yakin apakah yang sedang ia
ketuk adalah rumah kedua orang tuanya karena seingatnya mereka tidak punya
gazebo seluas ini. “Permisi...” ucap Rhea tanpa tenaga. Menangis di pinggir
jalan dan di bawah terik matahari, belum memakan apa-apa sejak berada di tempat
yang mulai sekarang mungkin harus ia beri nama masa lalu dan jalan kaki dua
setengah jam untuk bisa sampai di rumah ini.
Seseorang yang tentu sangat dikenali
oleh Rhea membukakan pintu kemudian menunjukkan wajah kaget. Itu Tantenya, adik
sang Ibu yang selalu menemaninya begadang mengerjakan PR atau lebih tepatnya
memastikan Rhea mengerjakan PR. Meskipun tantenya itu terlahir gagu, tapi
beliaulah yang paling Rhea sayangi. Ibu dan Tante adalah dua orang yang kalian
tidak boleh menjadikan keduanya pilihan kemudian memaksa Rhea memilih satu di
antara mereka.
Mendapati pemilik wajah tersebut dalam
keadaan sehat dan yang paling penting bernyawa, tidak seperti terakhir kali ia
melihatnya, membuat Rhea menghambur memeluk Tantenya tanpa pikir panjang.
Sementara itu, Linda kaget bukan main
menemukan wajah ponakan kesayangannya ada pada wanita muda ini ditambah si
wanita muda memeluknya seolah telah mengenalnya lama. Linda kemudian
mengelus-elus punggung wanita itu, ia tidak tau apa masalah yang tengah wanita
itu hadapi. Ingin bertanya tapi ia paham keterbatasannya. Kemudian Linda
melerai pelukan mereka dan menangkup wajah cantik yang benar-benar mirip dengan
ponakannya, Rhea. Linda menyeka air mata wanita itu dan menggeleng pelan. Ia
ingin wanita itu berhenti menangis.
“Ma-maaf, Te.. Ibu sama Bapak ada?”
tanya Rhea berusaha menghentikan tangisnya. Ada alasan lain kenapa tangisnya
semakin menjadi-jadi ketika Tantenya menangkup kedua pipinya. Karena di masa
depan Rhea tidak akan menemukan Tante dan Ibunya lagi. Mimpinya tidak pernah
senyata ini semenjak dua orang terkasihnya meninggal dunia. Dalam hatinya Rhea
berkata bahwa mungkin dia akan betah berada di sini. Tapi sedetik kemudian ia
kembali teringat dengan Ale. Detak jantungnya kembali terasa tidak menyenangkan
dan perutnya kembali terasa melilit.
Tante Linda kemudian membukakan pintu
dan membawa Rhea terus ke dalam rumah sampai keduanya berada di dapur, tempat
dimana sang Ibu sedang memasak. Mencoba memasak tepatnya karena saat ia dan Tante
sampai disana, Ibu berhasil mengiris jarinya sendiri. Jika bapak tau bahwa
diam-diam Ibu berusaha belajar memasak, Bapak pasti marah besar.
“Ibu..” teriak Rhea dan segera mengambil
kotak P3K di atas kulkas.
“Rhea?” tanya Ibunya saat Rhea
mengobati lukanya. Seketika Rhea menyadari kesalahannya. Seharusnya ia datang
sebagai orang asing yang ingin mengetahui keberadaan Rhea Davina, bukan orang
yang mengetahui letak kotak P3K dan mengobati Ibu seperti sekarang. Tidakkah
ini akan membuat semua orang bingung?
Meneguk ludahnya, Rhea segera bangkit
kemudian berkata, “Sa-saya,” kembali Rhea menelan salivanya, “Nama saya Alesha,
pelayan di cafe yang sering Rhea datangi saat belajar kelompok dengan
teman-temannya,” ucap Rhea berusaha meyakinkan. Wajah Ibu langsung murung
begitu mengetahui siapa yang sedang berhadapan dengannya. Mata Rhea memanas,
wanita itu sengaja mengalihkan pandangannya ke langit-langit agar air matanya
tidak kembali tumpah. Dari ekspresi Ibu, Rhea sudah tau bahwa dirinya yang lain
juga tidak ada di rumah.
“Waktu pertama ketemu sama Rhea,” ucap
Rhea sambil terus mengamati perubahan air muka Ibunya. “Kami juga sama-sama
kaget karena mukanya sama.”
“Kamu dekat dengan Rhea?”
“Cukup dekat sampai saya tau kalo Rhea
paling nyenyak tidurnya saat Guru menerangkan pelajaran.”
Rhea tidak tau pasti apakah dirinya
membuat Ibu menangis atau tertawa karena beliau melakukan keduanya di saat yang
bersamaan. Rhea mengangkat tangannya ragu-ragu untuk kemudian mengusap punggung
Ibu yang mengucapkan maaf karena menangis di depan teman anaknya.
Wanita itu menceritakan bahwa ia dan
suaminya tidak bisa menemukan anak gadis mereka satu-satu dimanapun. Beberapa
hari yang lalu saat seharusnya mereka semua berkumpul di meja makan dan memulai
hari-hari normal yang menyenangkan karena Rhea selalu bisa membuat semua orang
tertawa dengan kekonyolannya, Rhea tidak ditemukan di kamarnya. Sementara Ibu
terus menjelaskan kronologi kejadian hari itu, Rhea justru mati-matian menahan
air matanya. Sama seperti tadi saat ia memeluk Tantenya, Rhea juga ingin
melakukan hal yang sama pada Ibu. Rhea tidak pernah menunjukkan betapa ia
sangat merindukan Ibu selama ini. Ia berusaha untuk tetap kuat agar tidak
menyusahkan orang-orang di sekelilingnya bahkan pada suaminya sendiri. Sekarang
baru Rhea sadar bahwa ia dan Drian tidak benar-benar terbuka satu sama lain.
Sama seperti Rhea yang tidak bisa menunjukkan betapa hancurnya ia selepas
kematian Ibu dan Tante, Drian juga tidak pernah benar-benar mengatakan kenapa
pria itu pada akhirnya memilih untuk menikahi Rhea saat ia punya pacar yang
sangat disayanginya.
~o~
Dari sela-sela antara pintu dengan
kusen tampak Linda menatap sedih pada wanita muda yang sedang menangis pilu. Dia
dan Ibunya Rhea berbicara sangat lama seperti dua orang kenalan yang sudah lama
tidak bertemu. Sekarang Kakaknya Linda sudah tertidur dan di sampingnya ada
Alesha yang menangis tanpa suara.
Meskipun Linda bukanlah orang yang
melahirkan Rhea dan kenyataannya dia tidak pernah melahirkan siapapun, batinnya
mengatakan bahwa wanita muda itu sama sekali bukan orang asing. Dengan gilanya Linda
merasa Alesha adalah ponakannya. Kemiripan apa lagi yang kurang antara Alesha
dengan Rhea? Setelah wanita itu merasa cukup membiarkan Alesha menangis, wanita
itu masuk ke dalam kamar kakaknya dan membantu orang yang diyakininya adalah
keponakannya itu berdiri dan membawanya keluar.
“...” Rhea tidak tau ia akan dibawa
kemana tapi satu hal yang pasti adalah bahwa Rhea harus menghentikan tangisnya
agar dirinya tidak terlihat semakin aneh. Di sekenario dadakan ini, Rhea remaja
adalah kenalannya Rhea. Sangat tidak masuk akal ia menangis seperti ini seolah
ia sedang mendatangi pemakaman Rhea remaja. Bisa-bisa ia diusir dari rumah ini.
Linda membuka kulkas setelah meminta Alesha
duduk dengan isyarat tangannya, beberapa saat kemudian ia menyodorkan sebuah
apel pada wanita muda itu. Dan tepat seperti dugaannya, Alesha menggeleng.
Dengan senyum lebarnya Linda sekarang menyodorkan plum hitam yang sejak tadi ia
sembunyikan di balik punggungnya. Alesha mengambilnya dan mengucapkan terima kasih
dengan senyum lemah. Apa Linda bilang, kurang mirip apa Alesha dengan ponakan
kesayangannya.
“Te, apa aku boleh sering-sering main
kesini?” Linda mengerutkan kedua alisnya mendengar pertanyaan bodoh Alesha. Main
kesini? Siapa orang yang melarangmu main ke rumahmu sendiri? Dan lagi, Linda
merasa Alesha memang sudah seharusnya berada di rumah ini. Keberadaan wanita
muda ini membuat kakaknya banyak bicara hari ini. Kakaknya bahkan menangis, hal
yang selama dua minggu belakangan ditahannya mati-matian. Entah kenapa, Linda
merasa kakaknya bisa meluapkan kesedihannya berkat kedatangan Alesha hari ini.
Namun begitu Linda tetap memberikan angukan untuk jawaban pertanyaan Alesha.
Dengan gerakan tangannya Linda menyuruh Alesha memakan buah kesukaannya itu.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar