Di sisi
kamar yang lain, Rhea menatap pria itu dengan kedua alis menyatu. Rhea mengakui
bahwa dirinya adalah gadis bodoh yang rankingnya di kelas selalu berada di
ambang batas. Tapi dia cukup pintar untuk tidak mempercayai ucapan Om ini, apa
dia pikir Rhea sedungu itu hingga bisa diperdaya olehnya? Tidak, Rhea harus
pergi dari sini!
“Jangan
berpikiran untuk kabur dariku Rhea! Kamu harus bertanggung jawab atas kami.”
Belum
juga bergerak dari posisinya, Rhea merasa sudah ketahuan. Seperti Om ini bisa
mendengar isi kepalanya saja. Rhea kemudian mengangkat kepalanya hingga ia
yakin si Om bisa melihat betapa kesalnya ia saat ini. Rhea juga bisa melihat
pria itu juga tengah kesal padanya.
“Tanggung
jawab?! Memangnya aku menghamili, Om? Enak saja!” ucap Rhea yang sudah selesai
dengan tangisnya. Oh tentu saja ia menangis. Kejadian hari ini bahkan lebih
menyeramkan dari dirinya yang pernah hampir tidak diterima di SMA tempatnya
belajar sekarang. Kamu tidak tau rasanya duduk di bangku cadangan, bukan?
Berada di daftar tunggu, dengan kemungkinan tidak ada siswa baru yang
mengundurkan diri sehingga ia tidak bisa bersekolah adalah hal paling
menyeramkan seumur hidupnya. Yang sekarang sudah tergantikan dengan permintaan
tanggung jawab yang pria ini lontarkan beberapa saat yang lalu.
“Sekali
lagi aku mendengar kamu memanggilku Om, kita bisa berakhir di,” di ranjang.
“Di
tempat yang tidak cocok sekali untuk aku sebutkan pada remaja seperti kamu! Dan
sekedar mengingatkan, aku yang menghamili kamu sampai kita memiliki Ale!” ucap
Drian kesal. Dia hanya lahir setahun lebih dulu dari Rhea dan wanita atau gadis
ini memanggilnya dengan sebutan paling konyol yang pernah ada. Namun ternyata
perkataannya barusan membuat Rhea memeluk dirinya defensif.
Rhea
mengerti dengan ancaman barusan terlalu baik. Sejak beberapa menit yang lalu ia
tidak menyadari bahwa selain berhadapan dengan Om aneh, ia juga bisa dilecehkan
oleh laki-laki ini kapan saja.
Kembali
pada Drian yang melihat Rhea remaja melangkah mundur dan menatapnya dengan
takut-takut. Dia yang merasa begitu ketakutan dengan apa saja yang mungkin
istrinya tengah lakukan di masa lalu melupakan kemungkinan bahwa Rhea remaja
tentu tidak tau apa-apa. Dan barusan Drian melakukan kesalahan dengan
melampiaskan amarahnya pada gadis polos di depannya yang terlihat ingin kabur.
Sekarang Rhea remaja memeluk dirinya penuh perlindungan.
“Maaf.
Aku ga serius dengan ucapanku barusan. Aku mohon jangan teriak, biarkan Ale
tidur dan aku janji akan mencari jalan keluar untuk kita,” ucap Drian dengan
nada lembut.
“Ale?”
tanya Rhea bingung.
“Alesha
Zaneta Russel, putriku yang kamu lahirkan delapan bulan lalu.” Drian melirik
box bayi yang berisi putri cantiknya melalui sudut mata yang diikuti oleh
gerakan yang sama dari Rhea remaja.
Rhea
dasarnya adalah gadis keras kepala. Meskipun sempat takut, nada lembut Drian
barusan rupanya membuat kepercayaan dirinya kembali ke singgasana. “Wow wow
wow.. bisa ga, Om bicara yang lojik sedikit? Mengingat umur Om yang sudah
lanjut ini rasanya sudah ga pantas lagi untuk menghalu. Aku cuma siswi SMA yang
untuk naik kelas saja susah. Mana mungkin aku punya suami. Apalagi suamiku
sudah tua begini?” Rhea sungguh tidak terima. Belum pernah pacaran sekalipun
seumur hidup tapi pria ini mengatakan bahwa dia adalah suaminya. Dan Rhea tidak
pernah berencana untuk menyukai pria yang wajahnya ditumbuhi bulu seperti pria
ini. Rhea memang belum memiliki standar pria ideal, tapi mulai detik ini ia
sudah menemukannya. Pria yang menjadi pacarnya boleh memiliki fisik seperti apa
pun kecuali seperti pria di depannya ini. Pria yang menjadi pacarnya harus
memiliki fisik yang jauh dari Om yang mengaku menjadi suaminya.
Drian
meneguk ludahnya kasar. Berapa lama waktu yang terlewati sejak ia bersama Rhea
remaja? Belum sampai beberapa jam tapi kenapa Drian merasa seolah Rhea Davina
Russel yang kabur darinya ke masa lalu sudah berhasil melakukan langkah besar
yang mungkin bisa mengubah masa depan? Kenapa begitu? Karena Rhea yang Drian
kenal adalah perempuan yang mencintainya dan bertahan begitu lama untuk
akhirnya ia cintai balik. Jadi bagaimana mungkin Rhea remaja ini mengucapkan
kalimat seperti dirinya tidak akan menyukai Drian lagi? This is too much,
Adrian tidak tau apa yang sedang terjadi dan ia menjadi begitu putus asa.
“Tolong
kembalikan Rhea-ku karena dia masih harus menyusui Ale!” ucap Drian lirih.
Entah pada siapa ia memohon, Drian pun bingung.
“Aku Rhea
dan aku merasa ga harus menyusui siapa-siapa,” pekik Rhea. Beraninya dia
mengatakan ‘menyusui’ pada anak gadis sepertiku, pekik Rhea membatin. Semakin
tidak terima ketika mata Om ini mengarah pada barang berharganya. Dasar mesum!
Dan oh, anaknya kembali menangis.
~o~
Dua jam
kemudian.
Rhea
melihat Om yang mengaku sebagai suaminya itu menjambak rambutnya kesal. Om itu
duduk tepat di depan Rhea, di seberang meja makan. Melihatnya frustasi membuat
Rhea ikutan sakit kepala. Rhea juga ingin menyelesaikan masalah ini, makanya ia
mencoba mengingat apa yang ia lakukan sebelum tidur. Dan seingat Rhea, sebelum
terbangun gara-gara mimpi jatuh dari ketinggian itu, ia berada di kamarnya
dengan pakaian tepat sama dengan yang ia kenakan saat ini.
“Dengar
Om, sebelum aku bangun dan terdampar di rumah orang asing begini, aku ingat
banget kalo aku tidur di kamarku, di rumah Bapak dan Ibuku. Aku bahkan belum
ngerjain PR Sosiologi! Jadi mohon kembaliin aku ke orang tuaku karena besok
pagi sudah harus sekolah!”
“Ibu
sudah ga ada, Rhe. Sudah dari dua tahun yang lalu,” ucap Drian lirih.
Bagaimanapun kerasnya ia memutar otak Drian tetap tidak bisa menemukan cara
untuk membuat Rhea Davina dan Rhea Davina Russel kembali ke tempatnya
masing-masing. Benar bukan? Perempuan yang ada dengannya saat ini bukan lah
istrinya, setidaknya belum. Berarti dia masih seorang Rhea Davina. Lagi pula
apa yang sedang terjadi saat ini bukan sesuatu yang bisa dicerna akal sehat
manusia. Wanita dua puluh tujuh tahun kembali ke usia belasan? Omong kosong
karena ilmuwan di seluruh dunia bahkan tidak pernah berhasil menciptakan yang
namanya mesin waktu atau pun mesin yang bisa mengembalikan manusia ke wujudnya
beberapa tahun yang lalu. Jikapun alat itu ada, istri Drian perlu masuk ke
dalam alat tersebut sedangkan Drian mengetahui dengan pasti bahwa Rhea berada
dalam pelukannya sejak awal. Rhea bahkan tidak turun dari ranjang untuk ke
kamar mandi.
“Ha. Ha.
Ha, dasar gila! Om menculikku ‘kan? Bilang aja kalo sebenarnya kamu butuh
pengasuh untuk anak itu -yang anak itu juga hasil culik atau justru anak haram
Om dengan cewek sinting psikopat sama seperti- aaaakkkhhh bunuh saja
akuuuuuuuu.” Aku gila, aku Rhea membatin dan ia lebih memilih gila daripada
terjebak dengan orang asing satu ini.
Lama Rhea
menangis sesenggukan menatap Drian yang dibalas hanya dengan tatapan datar.
Rhea benar-benar berharap pria itu menghentikan semua ini dan mengantarkannya
pulang. Ini juga bukan September, jadi tidak mungkin dirinya sedang diberi
kejutan ulang tahun, begitu pikir Rhea. Tadinya ia berencana menangis sampai
pagi, tapi belum sampai setengah jam tangisnya berhenti dengan sendirinya.
Sekarang hanya tersisa bekas aliran air mata yang hampir mengering sehingga
meninggalkan kesan lengket di sepanjang pipinya. Rhea sudah tidak memiliki
keinginan untuk menangis lagi.
Bagaimana
caranya pulang? Aku ga mau diusir lagi dari kelas karena ga bikin PR. Gumam
Rhea membatin.
“Nah,”
Drian menyodorkan sebuah ponsel yang menunjukkan halaman sebuah sosial media
milik Rhea. Rhea tau itu miliknya karena dia selalu memakai ‘Rheana = Rhea
Davina’ untuk semua akun media sosialnya karena lebih terdengar feminim. Satu
hal yang tidak ia sukai yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar omongan Om ini
tidak dibuat-buat adalah tulisan di Bio instagramnya: Wifey to Adrian Russel
and Momma to Alesha Zaneta Russel.
“Ini
juga,” ucapnya lagi sambil menyodorkan buku nikah dan beberapa bingkai foto di
saat Rhea sedang syok dan sibuk menggulir layar. Sungguh, Rhea tidak percaya
dengan postingan-postingan yang ada pada akunnya sendiri. Siapa orang kurang
ajar yang melakukan hack pada akun siswi SMA yang bahkan tidak terkenal ini?
Kusumpahi hidupnya melarat!
“Aku ga
lagi masuk acara TV ‘kan, Om?” ucap Rhea memelas, jujur saja perutnya mulas
melihat semua ini. Belum sempat Om menjawab, bayi kurang ajar itu kembali
menangis sehingga Rhea tidak mendapatkan jawabannya. Tinggallah ia sendiri di
meja makan sambil memukul-mukulkan kepala ke meja.
“Kemari
Rhea!” panggil Om Drian dari arah kamar sana. Bukan sok kenal, tapi Rhea
mengetahui nama pria tersebut dari buku nikah yang saat ini masih berada di
hadapannya.
“Ga mau,
enak aja!” Rhea kembali memeluk tubuhnya sendiri. Demi apapun ia tidak bisa
menyusui, payudaranya bahkan belum berkembang sesempurna itu untuk menjadi
seorang ibu dan yang paling penting adalah Rhea masih gadis.
“Rhea!”
panggil Drian dengan nada penuh peringatan.
“I-iya
ah!” Rhea tidak tau kemana perginya energi yang harusnya tersimpan dalam
tubuhnya mengingat sebelum tidur tadi, ia sempat makan dua porsi bakso karena
saat ini tubuhnya terasa seperti jeli. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju
Drian yang menghardiknya barusan.
“Ale
haus!” ucap Adrian begitu Rhea memasuki kamar dengan ragu-ragu.
“Jangan
gila, Om! Aku ga bisa nete-in anak itu!” Rhea melotot dan berlindung di balik
pintu.
“Jangan
membuang waktuku Rhea, cepat kemari dan pegangi Ale. Aku harus beli susu.”
“Tetap ga
mau! Aku ga bisa ngasuh bayi, aku aja yang beli susunya.”
“Dan
membiarkan perawan Rhea berkeliaran tengah malam begini? Aku lebih sayang sama
diriku sendiri, Rhe. Tetaplah menjadi perawan sampai kamu ketemu Adrian Russel
di masa lalu.”
Kurang
ajar banget mulut Om ini, kalo aja badannya ga setinggi dan sekekar itu mungkin
aku udah kukasih pelajaran. Atau kuracun aja dia? Rhea masih memikirkan apa
yang ingin ia lakukan pada Adrian ketika tiba-tiba tubuhnya diseret mendekati
ranjang dan kepalanya diarahkan pada bayi perempuan yang ternyata cantik
sekali. Awalnya Rhea masih mencoba berontak meski ia tau tenaganya tidak
sebanding dengan tenaga Om Adrian. Tapi ketika matanya bertemu dengan manik
hitam legam milik bayi cantik itu, Rhea justru ingin menatapnya lebih lama.
“Jaga
anakku sebentar!” ucap Drian dan tidak menoleh lagi pada Rhea. Dia sengaja
meletakkan telapak tangannya di atas tengkuk Rhea dan kemudian mendorongnya
agar gadis itu menatap Ale. Bayi Drian yang harus ia jaga selagi Drian pergi
untuk membeli susu.
Rhea
tertegun melihat seberapa eloknya paras bayi di depannya ini. Refleks ia
mengusap pipi basah bayi perempuan yang Om tadi beri nama Ale. Ale menggapai
baju Rhea dengan kedua tangannya yang mungil. Dan seolah mengerti dengan bahasa
bayi, Rhea segera mengamankan payudaranya dengan menyilangkan kedua tangan di
dada. Enak aja, ga anak ga Bapak sama saja.
“Eh, eh,
jangan nangis dong, Om lagi beli susu tuh. Sa- sabar, ya,” ucap Rhea terbata
melihat Ale yang sudah bersiap kembali untuk menangis.
~o~
.png)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar