Rhea Davina Russel - Bab 1

 

Sampul buku Rhea Davina Russel


Matanya tiba-tiba terbuka lebar, lagi-lagi mimpi yang sama. Jatuh dari ketinggian. Butuh beberapa waktu untuk menormalkan detak jantung agar bisa kembali melanjutkan tidur. Rhea Davina memang sudah terkenal dengan predikat tukang tidur. Tapi itu bukan masalah baginya selagi bisa naik kelas sehingga Ibu atau Bapak tidak perlu memotong uang jajan.

Dengan mata yang terasa begitu lengket, Rhea mengernyit. Ia merasakan sesuatu yang aneh pada ranjangnya. Ranjang miliknya tidak pernah terasa senyaman ini. Selimut yang menutupi tubuhnya juga terasa lebih hangat dan lembut dari yang biasanya. Meski kantuk begitu parah tapi Rhea masih bisa merasakan bahwa kaitan pakaian dalamnya terlepas. Rhea bukan golongan anak perempuan yang membuka pakaian dalamnya saat tidur, itulah kenapa ia berdecak kesal kemudian bangkit meski dengan kedua mata yang sudah tertutup rapat untuk memasukkan kedua tangan ke balik kaos yang digunakan dan membenarkan pakaian dalamnya.

“Astaga!” jeritnya saat merasakan sebuah tangan merambat di bawah kaos yang ia gunakan ketika mencoba memasang kembali pakaian dalamnya. Tangan itu membelit perut Rhea seperti seekor ular tapi ia tau bahwa itu tangan manusia, bukan ular. Karena alih-alih merasakan dingin dan sisik, Rhea justru merasakan hangat kulit seseorang di perutnya. 

Tak berselang beberapa detik terdengar jeritan lain yang terdengar lebih cempreng diikuti oleh suara tangis.

“Rhe.. Ale baru tidur beberapa menit yang lalu yang artinya aku juga baru tidur selama beberapa menit,” ucap seseorang bersamaan dengan lampu kamar yang menyala. Barusan adalah suara seorang laki-laki dan tak tanggung-tanggung, itu suara seorang laki-laki dewasa. What the freak! Ada laki-laki dewasa dan anaknya di kamar Rhea? Sejak kapan memangnya Rhea membuka kamarnya untuk umum? Itu yang saat ini Rhea pikirkan di benaknya. Dan tunggu! Apa barusan Rhea ditegur karena sudah membuat kehebohan di kamarnya sendiri? Ini kamar Rhea loh, dia bebas melakukan apapun yang dia inginkan.

Setelah cahaya menerangi kamar yang awalnya ia kira adalah kamarnya, setelah ia berpikir bahwa seseorang membobol kamarnya, tubuh Rhea mendadak kaku dan semua seolah berputar. Oke, Rhea pusing sekarang. Ini bukan kamarnya, bahkan selimut ini juga tidak sesuai dengan gayanya sama sekali meskipun tidak bisa dipungkiri terasa begitu nyaman dan hangat. Pertanyaan paling penting saat ini adalah, siapa Om-Om yang sedang memunggunginya sambil menimang-nimang seorang bayi itu? Tidak, Rhea menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, pertanyaan paling mendesak saat ini bukan siapa mereka tapi di mana gerangan dirinya sekarang?

“Di mana aku?” tanya Rhea menyuarakan apa yang bersarang di benaknya sejak beberapa detik yang lalu kemudian cepat-cepat turun dari ranjang orang yang tadi ia pikir adalah miliknya. Meskipun seorang tukang tidur, Rhea Davina punya prinsip yang tidak akan pernah ia langgar apapun yang terjadi, yaitu: tidak akan tidur sembarangan terlebih di rumah orang asing. Rhea memang tidur sembarangan dalam artian kapan pun dia merasa mengantuk, tapi Rhea selalu tidur di bangkunya, tidak pernah di bangku teman sekelas apalagi bangku kelas lain. Kamarnya, rumahnya, sofa depan TV nya. Lihat bukan? Dia selalu tau tempat untuk tidur. 

Rhea melihat Om-Om itu berbalik dengan penuh antisipasi. Cepat atau lambat pria tersebut akan berbalik karena barusan Rhea mengajukan pertanyaan. Kecuali dia punya masalah pendengaran. Dan lebih dari Rhea yang syok saat mendapati dirinya berada di tempat asing, pria yang sekarang tengah berhadapan dengannya itu terlihat seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan hantu. Rhea sungguh merasa tersinggung dengan ekspresi yang pria dewasa itu berikan untuknya. Tapi apa-apaan itu? Kenapa pula dia tidak pakai baju di cuaca seperti ini? 

Siapa saja tolong tarik Drian dari mimpi buruk ini. Siapa saja juga tidak akan percaya jika Drian ceritakan bahwa istrinya kembali ke bentuk remajanya. Semakin mengucek mata semakin Drian merasa ada yang salah dengan matanya. Atau justru objek yang sedang dilihatnya. Beberapa saat yang lalu dia, istrinya maksud Drian, berteriak sampai membangunkan putri mereka yang baru saja berhasil ia tidurkan karena beginilah mereka berbagi tugas untuk menjaga Ale, namun sekarang dia malah menangis. Sekali lagi yang Drian maksud menangis adalah istrinya. Tiga tahun menikah Drian tidak pernah melihat Rhea menangis selama ini. Tidak pernah. Kecuali jika mungkin Rhea menangis di belakangnya. Kemudian pertengkaran keduanya dua bulan yang lalu berputar bagai rekaman kusut di benak pria itu. 

Drian salah. Ya, memang dia yang salah.

“Jangan Sally aja, Dri! Peluk semua perempuan yang kamu temui!” Rhea menatap Drian benci, ia melempar cincin yang laki-laki itu sematkan padanya di depan orang tua mereka dan benda itu tepat mengenai dada sang suami.

 Sakit. Itu yang Drian rasakan. Beraninya Rhea melakukan hal yang menyakitinya padahal Drian tidak pernah membuatnya kesakitan dalam hal apapun. Melihat dengan kepala sendiri bahwa istrinya tidak merasa bersalah telah membuang benda yang mati-matian ia dapatkan untuk bersamanya juga membuat Drian marah. Namun nama yang disebut Rhea entah kenapa membuat Drian merasa segala amarah dan sakitnya tidak lagi berarti. Petaka sudah menyambangi rumah tangganya. Drian tau itu.

“Rhe, Ale bisa ketakutan kalau kamu-”

“-Terserah!!! Ale lebih baik ketakutan sekarang daripada menanggung malu karena memiliki pria sialan kaya kamu sebagai Papanya.”

“Rhe... aku dan Manda tidak ada hubungan apa-apa, maksudku aku belum bisa disebut selingkuh.” Jujur, Drian sendiri pening dengan kalimat yang barusan terucap.

“Aku ga peduli Dri!!”

“Tolong pahami aku, Rhe.. aku cuma bingung sesaat. Ka- kamu terlalu sibuk dengan Ale dan aku-” Drian tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena istrinya menutup mata dan menggeleng kencang. Drian yakin ia pun tidak akan sanggup mendengar kelanjutan ucapannya sendiri.

“Begitu? Berarti aku yang salah, ya, Dri! Aku” aku Rhea dengan tatapan tersakiti. Alesha Zaneta Russel adalah putri mereka, Drian mengaku mencintai putri mereka lebih dari apapun begitupun Rhea. Namun kemudian Drian menjadikan darah daging mereka sebagai alasan kenapa ia berpaling.

“Jika ada cara, apapun itu biar aku ga pernah ketemu kamu, ga tergila-gila sama kamu. Aku pasti lakuin itu apapun resikonya sekalipun mempertaruhkan keberadaan Ale!” pekiknya. Rhea kemudian meninggalkan sang suami, mengunci kamar. Membuat jarak yang selama ini Drian buat diam-diam menjadi begitu nyata.

Jadi.. apakah sekarang istri Drian sedang berada di masa lalu dan membenarkan apa yang menurutnya salah sejak awal? Apa ini masuk akal? Tapi di balik semua kenyataan yang menakutkan ini, Adrian Russel lebih takut jika Rhea mendapatkan cara apapun yang pernah dia katakan sehingga Drian tidak lagi memiliki wanita itu dan putri mereka. 

 

~o~


Wede

Aku menulis cerita yang mungkin tidak akan kamu lupakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar