Begitu pesawat yang ditumpanginya mendarat di Bandara Soekarno Hatta,
gadis dengan pakaian serba hitam tersebut memastikan topi yang dia kenakan
menutupi seluruh wajahnya. Dia tidak kabur untuk langsung ketahuan tentu saja. Hal
paling penting yang harus dia lakukan saat ini adalah menemukan orang yang sepupu
jauhnya tugaskan untuk menjemputnya. Gadis itu tidak akan mencari seseorang
yang membawa papan bertuliskan namanya melainkan nama sang Kakak sepupu. Masalahnya
saat ini hanya satu. Terlepas dari apakah orang rumah sudah menyadari dirinya
menghilang atau tidak, tetap saja dia sedang menginjakkan kaki di pulau di mana
keluarga Ayahnya berada. Siapa yang tau jika seseorang di antara mereka
kebetulan berada di bandara. Apalagi salah satu Abangnya adalah orang yang
paling sering lalu lalang di Bandara, Bang Ammar yang hidupnya terlalu sempurna
sehingga Jana mengutuknya beberapa kali. Makanya, Jana harus berhati-hati dan
juga berusaha secepat mungkin untuk mencari orang yang akan mengantarkannya
pada sang Kakak.
“Iya, Nenek.. Sabar dong, Nek! Nenek kira bandara kaya lapangan bola
yang isinya cuma dua puluh tiga orang?” gerutu pria yang kebertulan berpapasan
dengannya. Jana menyatukan kedua alisnya. Sedang berpikir kenapa di lapangan
bola hanya ada dua puluh tiga orang saja.
Jana langsung meraih ponselnya dan mencari kontak Shadiq Mahavir Esham
hanya untuk mengirimkan pesan suara. “Diq! tanyo ciek.” (Diq! Mau
nanya).
Kemudian Jana menanyakan pertanyaan yang tidak penting sama sekali.
Tidak penting karena pertanyaan barusan muncul dari orang yang tidak sengaja ia
curi dengar obrolannya.
“Ciek lai wasit, Cor! Ngang!” (Satunya
Wasit, bodoh!) balas Shadiq setelah Jana menjelaskan bahwa dia hanya mengetahui
bahwa satu tim beranggotakan sebelas orang dan dua tim berarti dua puluh dua
orang. Sisa satu orang lagi yang dia tidak ketahui adalah wasit. *Cor maksudnya
Bocor dan *Ngang maksudnya Bangang, keduanya sama-sama
berarti bodoh.
Jana berhenti hanya untuk memutar ulang pesan suara barusan. Ulang lagi
dan ulang lagi, sampai matanya memanas. Kalau ada orang yang dia rindukan saat
ini Shadiq adalah salah satunya, selain Ibu kandungnya tentu saja. Sialnya
adalah tidak ada satupun di antara mereka yang bisa Jana temui dalam waktu
dekat. Shadiq sedang di Hamburg sedangkan Ibu kandungnya..
Jana tidak tau.
Memukul wajahnya sendiri, Jana kemudian kembali mencoba melihat
orang-orang yang sekiranya datang untuk menjemputnya. Sayang sekali pria tadi
benar. Orang-orang di bandara ini terlalu banyak yang mana hal itu
menyulitkannya.
Tapi sial bagi Jana karena dua
setengah jam kemudian, dia masih berada di bandara. Kakinya juga sudah mulai
pegal. Bukan berarti Puti Jana Aretha Shaima Jebat tidak terbiasa berjalan jauh. Jana
bahkan lihai sekali memanjat pohon. Hanya pohon pepaya saja yang belum penah
dipanjatnya. Yang membuat sang Puteri Sumatera lelah adalah barang bawaannya.
“Ya, Halo,” jawab Jana setelah duduk pada salah satu kursi yang kalau
dia punya mata, pasti sudah pusing melihat Jana mondar mandir di sekitarnya
sejak satu jam yang lalu.
“Ga ada, Pa! Ga ada Nenek-nenek peyot yang keluar dari tadi. Aku ga
buta, Pa! Sejak awal juga aku ga mau jemputin leluhurku ini,” dengus pria yang
duduk tepat di belakang Jana.
“Kalo misalkan Kakak keberatan aku numpang di rumah kalian, ga apa-apa.
Mumpung masih di bandara, aku bisa langsung ke tempat Kakekku walaupun aku lupa
nama negaranya. Entah Belanda, entah Amerika atau justru di Afrika sana. Aku
punya fotonya kok, nanti minta tolong aja sama orang-orang baik di luar sana
biar mereka bantu nyariin alamat Kakekku. Ya.. maksudku, aku bisa sih langsung
ngadu ke Kakekku, tanya alamat beliau langsung. Takutnya beliau langsung lapor
orang tuaku atau kena serangan jantung dan mati sendirian di luar negeri sana,”
ucap Jana yang sangat tau apa yang dia inginkan. Tujuannya hanya Kak Siti
Jamilah atau tidak sama sekali. Tapi dia tidak bisa menunjukkan maksud hatinya terlalu
jelas atau Kakak yang tidak pernah ia temui ini tidak mau menerimanya.
Kamu pikir Jana sudah selesai? Belum. “Ini kalau Makdang Ramdan
tau, aku pasti kena rotan. Tau gini mending minum baygon yang ada di kamarku
aja. Ga ngabisin duit ke Jakarta sendirian kaya gini.”
“Aku janji ga banyak tingkah kok, Kak. Aku bisa bantu bersihin rumah
tapi ga janji bisa bantuin masak. Aku juga bisa bantu jaga anak Kakak. Yang
paling penting aku ga bakal godain suami Kakak. Aku anak baik-baik.”
Pria yang duduk tepat di belakang Jana menoleh hanya untuk melihat
seseorang yang bicara begitu mengiba. Mana barusan terisak pula. Pria itu
bahkan mengabaikan Papanya yang berteriak memanggilnya di seberang sana.
“Raja? Kamu dengar Papa?”
“Raja! Nenekmu nekat mau ke Bandara. Ini yang kamu
mau? Tega kamu sama Mama Papa?” pekik Papanya bisa didengar begitu baik oleh pria yang
ternyata bernama Raja. Hanya saja Raja sedang sibuk menguping gadis yang sedang
menangis. Gadis yang sama yang beberapa saat lalu menyesal tidak jadi bunuh
diri.
“Oh Kakak udah ga punya anak kecil?” tanya Jana pada Kakak yang entah
sengaja menelantarkannya atau tidak.
“...”
“Ooh.. adanya cucu. Ga apa-apa aku bisa ngasuh cucu Kakak dua puluh
empat jam. Nilam aku yang asuh dari kecil, bisa aku ngadepin anak-anak. Cucu
Kakak cucuku juga.”
“...”
“Eh?! Jadi cucu kita ini lah yang jemput aku?”
“Ngaco,” gumam Raja. Kalau gadis ini sudah punya cucu, Raja jadi penasaran
umur berapa dulu Neneknya menikah. “Bisa sejauh itu jarak umur mereka
adik-kakak,” ucapnya geleng-geleng kepala. Menghembuskan napas panjang, Raja
kemudian bangkit untuk mencari Nenek barunya. Meninggalkan wanita yang
sepertinya punya orang tua yang terlalu produktif. Kali ini Raja sengaja
mengabaikan telfon semua anggota keluarganya yang tampak kurang kerjaan sekali
hari ini. Tau begitu harusnya tadi mereka saja yang menjemput adik Nenek.
>>>
“Raja!” seru Mama begitu Raja menjawab panggilan telfonnya.
Raja tau Mama bukan bermaksud marah. Mama pasti hanya khawatir padanya karena
saat ini suami beliau lah yang sedang marah besar. Kalau bukan gara-gara Nenek
yang selalu mengancam lebih memilih mati dari pada cucu semata wayangnya keluar
dari rumah, sudah dari dulu Raja cabut dari rumah pria Maha benar tersebut.
“Aku masih nyari, Mama. Belum ketemu-ketemu juga. Ini Neneknya bener
ngambil penerbangan Padang-Jakarta, ‘kan? Bukan Padang-Alam baka?”
“Udah ketemu. Kamu dimana? Hayuk pulang bareng.”
“Aku pulang entar aja lah,” rengek pria dengan tinggi seratus delapan
puluh tersebut. Sudah pasti dia akan mendapat amukan Papanya. Apalagi ini si
Nenek baru adalah Nenek dari pihak Papa. Wah, pastinya makin semena-mena beliau.
Sayang sekali ponsel Mama langsung disambar oleh Nenek. Dengan nada
lembutnya itu, mana bisa Raja menolak. Kadang Raja curiga bahwa sebenarnya Nenek
membencinya. Memang tidak pernah sekalipun Nenek bicara dengan nada tinggi tapi
anak kesayangan beliau lah yang selalu memastikan Raja mendapat hardikan atau
kalau perlu pukulan untuk tiap kesalahan yang dibuatnya.
Setelah mengetahui di mana Mama, Nenek dan juga algojo kesayangan mereka
berada, Raja langsung kesana hanya untuk menemukan tidak ada Nenek-nenek lain
di antara ketiga orang tersebut. Alih-alih wanita paruh baya, justru gadis yang
Raja yakin sekali adalah gadis yang sama yang ia curi dengar obrolannya satu
jam yang lalu lah yang berdiri bersama keluarganya.
“Apa-apaan ini?!” ucapnya membatin sambil terus mendekat.
Kemudian obrolan tadi menjadi masuk akal. Orang yang bicara di telfon dengannya
juga mengatakan bahwa gadis itu dijemput oleh cucu Kakaknya. Tapi masa iya ada
Nenek semuda ini?
“Lo.. Nenek gue?” tanya Raja setelah menarik lengan wanita yang beberapa
saat yang lalu memeluk Neneknya. Raja juga sengaja membuka topi gadis itu untuk
memastikan apakah dirinya sedang dikerjai karena ini adalah hari ulang tahunnya
atau justru Nenek-nenek Zaman sekarang juga gencar melakukan perawatan.
Hanya saja kejadiannya begitu cepat. Secepat topi tersebut berpindah
dari kepala gadis itu ke tangannya, secepat itu pula dia menutupi wajah dengan
kedua tangannya dan secepat itu pula gamparan Papa mengenai wajahnya.
“Oh.. ini bukan kejutan ulang tahun sama sekali,” ucap batin pria itu sambil menatap nyalang pada algojo kesayangan Mama dan juga Neneknya. “Gue pasti anak pungut!” gumamnya sambil menahan perih dan juga malu.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar